Di dalam banyak
kitab fiqih, para ulama menulis beberapa anjuran yang seharusnya juga menjadi
bahan pertimbangan merupakan dalam memilih pasangan, karena sunnah Nabi SAW.
1. Kualitas
Agama
Masalah
kualitas agama adalah perkara fundamental. Idealnya seorang wanita dipilih
menjadi istri karena memang terbukti kualitas keagamaan yang dimilikinya itu
original, asli dan sudah bawaan dari 'sononya'.
Sebab semua itu
akan sangat membantu dalam menjaga kualitas keagamaan suami dan anak-anak
nantinya. Rasulullah SAW bersabda :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأِرْبَعٍ : لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا
وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
Wanita itu
dinikahi karena empat perkara : Karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya dan karena kualitas agamanya. Maka setidaknya pastikan wanita
yang punya agama engkau akan beruntung. (HR. Bukhari Muslim)
2. Diutamakan
Perawan
Meski
Rasulullah SAW menikah rata-rata dengan janda, namun beliau tetap menganjurkan
para shahabatnya agar menikah dengan perawan. Dalam sabdanya beliau menegaskan
عَلَيْكُمْ بِالأْبْكَارِ فَإِنَّهُنَّ أَعْذَبُ أَفْوَاهًا
وَأَنْتَقُ أَرْحَامًا وَأَرْضَى بِالْيَسِيرِ
Hendaklah
kalian menikah dengan perawan, karena mereka lebih segar mulutnya, lebih banyak
anaknya, dan lebih ridha dengan yang sedikit.” (HR. Ibnu Majah)
Ketika Jabir
bin Abdillah memberitahu Rasulullah SAW bahwa dirinya akan segera menikah
dengan seorang janda, maka Rasulullah SAW sempat mempertanyakan :
فَهَلاَّ تَزَوَّجْتَ بِكْرًا تُلاَعِبُهَا وَتُلاَعِبُكَ ؟
Kenapa kamu
tidak menikahi perawan saja sehingga kamu bisa bermain-main dengannya dan dia
bisa bermain-main denganmu? (HR. Bukhari Muslim)
Namun anjuran
menikahi perawan ini tidak bersifat mutlak, sebab selain Rasulullah SAW sendiri
lebih banyak menikahi janda dari pada perawan, ketika ada shahabat beliau yang
menikah dengan janda dengan alasan yang kuat dan masuk akal, hal itu dibenarkan
oleh beliau.
Ketika Jabir
dipertanyakan oleh beliau SAW di atas, saat itu jawab Jabir adalah bahwa
dirinya menikahi janda dengan pertimbangan bahwa dirinya punya banyak adik
perempuan yang masih kecil dan butuh belaian tangan kasih seorang ibu. Maka
berharap dengan menikah dengan janda yang tentunya sudah banyak berpengalaman
merawat anak-anak kecil, Jabir berpikir akan lebih baik untuk adik-adiknya. Dan
hal itu dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
3. Belum Punya
Anak
Mazhab
Al-Hanafiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabila menganjurkan dalam menikahi wanita
sebaiknya yang belum pernah punya anak. Kalau pun wanita itu janda, maka yang
lebih diutamakan adalah yang belum punya anak. Tujuannya tentu saja agar wanita
itu bisa lebih optimal dalam melayani suaminya dan tidak terganggu dengan
kewajiban mengurus anak.
Oleh karena
itulah ketika pada awalnya Ummu Salamah radhiyallahuanha menolak pinangan
Rasulullah SAW, alasannya karena beliau adalah wanita janda yang sudah punya
anak. Beliau khawatir tidak bisa memberikan pelayanan yang maksimal kepada
Rasulullah SAW.
Namun karena
Rasulullah SAW diperintah dengan wahyu, maka pernikahan beliau dengan Ummu
Salamah tetap berlangsung.
4. Keturunan
Islam bukan
agama feodal yang mementingkan darah dan keningratan. Maka ketika agama Islam
menganjurkan untuk memperhatikan masalah keturunan, tentunya bukan dari segi
keningratan, darah biru atau tingkat status sosial.
Pertimbangan
masalah keturunan ini lebih menyoal kepada keshalihan dan kualitas implementasi
agama dari kedua orang tua dan keluarga si calon istri. Barangkali dalam bahasa
yang sederhana, seberapa kiyai-kah keluarga calon istri. Atau seberapa
ulama-kah keluarganya.
Sebab ada
hadits yang bicara tentang tidak bolehnya seorang wanita dinikahi lantaran
karena semata-mata ketinggian martabat (keningratan) keluarganya secara
duniawi.
وَمَنْ تَزَوَّجَهَا لِحَسَبِهَا لَمْ يَزِدْهُ
اللَّهُ إِلاَّ دَنَاءَةً
Siapa yang
menikahi wanita karena semata-mata dari segi keningratannya, Allah tidak
menambahkan kepadanya kecuali kerendahan. (HR. At-Thabarani)
5. Kesuburan
Di antara salah
satu pertimbangan penting tentang calon istri yang ideal untuk dipilih adalah
mereka yang terbukti kuat punya tingkat kesuburan tinggi. Hal ini bisa dilihat
dari berbagai indikator, di antaranya kesuburan saudari-saudarinya yang sudah
menikah, atau para wanita lainnya dalam keluarganya.
Sebab salah
satu tujuan pernikahan di dalam agama Islam adalah untuk mendapatkan dan
memperbanyak keturunan, dimana secara lebih makro, Rasulullah SAW berujar
tentang lomba dengan para nabi yang lain tentang jumlah umat Islam.
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ
الأُمَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Anas bin
Malik radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Nikahilah wanita
yang pengasih dan subur, karena aku berlomba dengan umat lain dengan jumlah
kalian". (HR. Ahmad)
Di antar hikmah
beranak banyak di masa sekarang ini adalah seorang wanita akan berpikir seribu
kali kalau minta bercerai dari suaminya. Jauh berbeda antara istri yang sudah
punya anak 12 dengan yang belum punya anak. Yang belum punya anak akan lebih
mudah minta cerai kepada suaminya.
Hal yang sama
juga terjadi pada suami, ketika 10 tahun pernikahan istri tidak juga punya
anak, sulit ditepis dari benak suami untuk tidak menikah lagi dengan wanita
lain, meski tidak pernah diungkapkan kepada istrinya.
Dan kisah Nabi
Ibrahim alahissalam dan istrinya, Sarah, yang bertahun-tahun membina rumah
tangga tanpa segera menerima kehadiran anak, barangkali bisa dijadikan contoh
kasus.
Namun ada juga
kisah orang yang sedemikian sabar karena belum punya anak juga, meski usia
pernikahan sudah lebih ari 50 tahun. Salah satunya adalah kisah Nabi Zakaria
yang kerjanya siang malam berdoa agar punya anak, sampai dirinya jadi tua dan
seluruh rambutnya berkobar dengan uban.
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ
شَيْبًا وَلَمْ أَكُن بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ
مِن وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِن لَّدُنكَ وَلِيًّا
يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا
(Zakaria)
berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah
ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya
Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang
istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang
putra, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub dan
jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai". (QS. Maryam : 4-6)
Akhirnya Allah
SWT memberi kabar gembira kepada hamba-Nya bahwa dia akan segera beroleh
seorang anak yang namanya Yahya. Zakaria sempat herannya juga dan malah balik
bertanya,"Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal istriku
adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur
yang sangat tua".
Maka Allah
berfirman hal itu mudah bagi-Nya dan lahirlah sang anak, ketika keduanya sudah
tua renta atas mukjizat Allah.
Buat kita kisah
ini sekedar mukjizat buat nabi, tentu keliru kalau orang ingin punya anak lalu
malah menikahi nenek-nenek yang sudah berusia 99 tahun 11 bulan 29 hari, sambil
berharap datangnya mukjizat seperti Nabi Zakaria. Sebab Nabi Zakaria sendiri
tidak pernah menikahi nenek-nenek, istrinya yang sudah tua renta itu dulu waktu
dinikahi adalah perawan ting-ting 100%. Namun terlambatnya dapat anak karena
Allah SWT ingin menguji pasangan itu.
6. Kecantikan
dan Kepatuhan
Tentu keliru
kalau pertimbangan paling utama ketika menikah seorang wanita semata-mata hanya
faktor kecantikan. Tetapi juga keliru kalau faktor kecantikan tidak boleh
dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan. Jadi yang tepat adalah posisi
di antara kedua. Rasulullah SAW sendiri pernah ditanya tentang pertimbangan
menikahi seorang wanita, dan ternyata beliau menjawab salah satunya karena
faktor kecantikan.
يَا رَسُول اللَّهِ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ ؟ قَال : الَّتِي
تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ
Ya Rasulallah,
wanita yang baik itu yang bagaimana? Beliau SAW menjawab,"Kalau kamu
melihatnya, kamu bergembira, tapi dia patuh kepadamu kalau kamu perintah. (HR.
An-Nasai')
Sedangkan
wanita yang terlalu bangga dengan kecantikannya, sehingga dia merasa bisa
menaklukkan laki-laki hanya dengan kerlingan sudut matanya, jelas bukan
termasuk dalam kategori ini.
Sebab kriteria
itu menyebutkan bahwa wanita itu patuh kepada suaminya bila diperintah, tanpa
cemberut atau bermuka masam. Dan bukan wanita yang membuat suaminya jadi takut
kepada istri, dikarenakan suaminya merasa tidak percaya diri lantaran berwajah
jelek.
Dan kecantikan
adalah sebuah penilaian yang sifatnya sangat relatif. Dimana tiap peradaban dan
zaman punya konsep yang berbeda tentang kecantikan. Di abad 21 ini, umumnya
orang punya pandangan kecantikan adalah boneka Berbie, yang putih kulitnya,
tinggi, kurus, semampai. Sehingga para wanita sedunia terobsesi dengan bentuk
tubuh boneka itu, meski sesungguhnya tidak lebih dari propaganda produk
kosmetik.
Siapa sangka
bahwa di masa lalu, konsep kecantikan justru terbaik 180 derajat. Salah satunya
ratu kecantikan Mesir, Cleopatra. Meski dalam film Cleopatra selalu digambarkan
sebagai sosok yang rupawan, para ahli sejarah justru mengatakan bahwa bentuk
kecantikan Cleopatra itu aneh bin ajaib bila diukur di masa kini.
Betapa tidak,
ternyata sang ratu yang diperebutkan oleh dua pemimpin besar kala itu, Julius
Caesar dan Mark Antonius, konon malah memiliki leher yang gemuk, dahi mendatar,
hidungnya lancip bengkok, telinganya panjang, dagunya mencuat, tinggi tubuhnya
pun hanya 1,5 meter, bertubuh agak montok dan tidak menekankan pada
kecantikannya. Satu lagi, ternyata Cleopatra berdarah Afrika yang kulitnya
hitam legam.
7. Berakal dan
Berakhlaq Baik
Amat dianjurkan
menikahi wanita yang berakal dan bukan wanita yang bodoh, pandir, kurang akal
dan ideot. Demikian juga sangat dihindari wanita yang kurang baik tabiat, jelek
perangainya, rendah akhlaqnya, dan bermasalah dalam perilakunya.
Di dalam
kitab-kitab fiqih seringkali disebutkan nasehat untuk menjauhkan diri dari
menikahi tipe wanita seperti tersebut di atas.
اجْتَنِبُوا الْحَمْقَاءَ فَإِنَّ وَلَدَهَا ضَيَاعٌ وَصُحْبَتَهَا
بَلاَءٌ
Jauhilah wanita
yang bodoh, karena kalau punya anak tidak ada artinya dan melayaninya menjadi
bala'.
8. Bukan
Kerabat Dekat
Secara aturan
syar'i, Islam membolehkan seorang laki-laki menikahi wanita yang masih
keluarganya sendiri yang bukan mahram. Akan tetapi bila ada banyak piliham ada
anjuran dari para ulama untuk sebaiknya mencari wanita yang agak lebih jauh
hubungan keluarganya.
Hikmahnya
antara lain agar hubungan antara keluarga semakin luas, tidak hanya sebatas
kerabat dekat, tetapi juga antara kerabat yang jauh, bahkan berbeda suku dan
kebangsaan.
Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا
Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal.(QS. Al-Hujurat : 13)
9. Mahar Yang
Seimbang
Di antara
sunnah dalam menikahi wanita adalah yang maharnya seimbang, tidak terlalu mahal
sehingga menjadi beban yang berat, tetapi juga tidak harus terlalu murah,
sehingga menjadi tidak ada harganya.
Aisyah ummul
mukminin radhiyallahuanha pernah meriwayatkan sabda Rasulullah SAW :
إِنَّ مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ تَيْسِيرَ خِطْبَتِهَا وَتَيْسِيرَ
صَدَاقِهَا وَتَيْسِيرَ رَحِمِهَا
Diantara
keberkahan seorang wanita adalah mudah melamarnya, sedikit mas kawinnya dan
mudah mendapatkan kasih sayangnya. (HR. Ahmad)
Namun kalau
kita bahas nilai sedikit atau banyak nilai mahar, tentu kita harus sesuaikan
dengan budaya lokal dimana seseorang berada.
Budaya lokal
kita memang nyaris 180 derajat berbeda dengan budaya negeri lain, khususnya
budaya Arab. Urusan nilai mahar di negeri kita nyaris tidak pernah menjadi
persoalan, sebab umumnya para wanita tidak terlalu peduli dengan nilainya.
Adalah sudah
menjadi 'urf (kebiasaan) buat para wanita di negeri kita untuk berbahagia
menerima mahar berupa mushaf Al-Quran atau sekedar mukana dan sejadah shalat
yang harganya tidak lebih mahal dari 100 ribu perak. Tidak ada yang merasa
dirugikan, apalagi tersinggung.
Malah terkadang
maharnya hanya berupa dibacakan surat Al-Fatihah, atau ayat-ayat tertentu. Sama
sekali tidak ada nilainya dari sisi harta benda. Itulah budaya kita, bangsa
Indonesia.
Tetapi lain
halnya dengan budaya Arab, baik di masa sekarang apalagi di masa Nabi SAW
dahulu. Nilai mahar setara dengan nilai martabat keluarga dan kehormatannya.
Kalau menikahi wanita dari kalangan kaya dan terhormat, maka maharnya harus
sesuai dengan keadaan mereka. Dan bila nilainya dirasa kurang cocok, pernikahan
bisa saja dibatalkan.
Ketika khalifah
Umar bin Al-Khattab radhiyallahanhu berupaya memberikan batasan tertinggi atas
nilai mahar, beliau pun diprotes dan diingatkan oleh para wanita. Intinya,
bahwa mahar itu adalah hak para wanita, kenapa Umar berani-beraninya membatasi,
padahal Allah SWT tidak membatasinya. Rasulullah SAW dan Abu Bakar
radhiyallahuanhu juga tidak pernah membatasinya.
Maka ukuran
mahal dan murahnya nilai mahar harus diukur sesuai dengan ukuran yang berlaku
di suatu tempat budaya. Sebagai perbandingan, sepuluh ekor unta untuk mahar
barangkali sangat mahal untuk ukuran Indonesia, meski di kalangan orang kaya
sekalipun. Namun 10 ekor unta itu sebuah mahar yang 'biasa-biasa' saja untuk
ukuran laki-laki usia 25 tahun yang menikahi janda usia 40 tahun.
Adalah
Rasulullah SAW ketika menikahi Khadijah diriwayatkan memberi mahar 10 atau 20
ekor unta. Sebagian riwayat malah menyebutkan 100 ekor unta, sesuai dengan
perbedaan periwayatan yang kita terima.
10. Bukan
Wanita Yang Diceraikan
Mazhab Asy-Syafi'iyah
menyebutkan bahwa sebaiknya wanita yang dinikahi itu bukan wanita yang dicerai
atau ditalak oleh suaminya dalam keadaan dia masih mencintai suaminya.
Barangkali di
antara hikmahnya karena bisa saja wanita itu tidak bisa melupakan mantan
suaminya dalam waktu yang cukup lama.
Dengan menikah
dengan janda yang masih hidup suaminya, maka masih terbuka kemungkinan untuk
kembali lagi. Bahkan boleh jadi kembalinya mereka sesungguhnya lebih baik demi
kemaslahatan dan keutuhan keluarga mereka. Apalagi misalnya masih ada anak-anak
yang membutuhkan bersatunya kedua orang tua mereka.
Lain halnya
bila suaminya telah meninggal dunia, maka putuslah harapannya untuk kembali
kepada suaminya. Dan lebih besar harapannya untuk menikah dengan suami baru,
tanpa ada resiko yang kurang diharapkan.
Comments
Post a Comment