Skip to main content

Ingin Tahu Apa Hukum Sholat Idul Fitri Di Dalam Masjid?

Ingin Tahu Apa Hukum Sholat Idul Fitri Di Dalam Masjid?,- Pada hari raya idul fitri tahun lalu saya mendapat sms dari orang yang tidak saya kenal. Dalam sms ia berkata: “Melaksanakan sholat idul fitri di dalam masjid adalah perbuatan bid’ah. Karena bid’ah maka siapa saja yang melakukannya berarti dia sesat.”

Sholat Idul Fitri Di Dalam Masjid


Saya tersenyum. Saya pikir ucapan itu tidak akan keluar kecuali dari mulut orang yang malas membaca kitab-kitab fiqih. Apapun itu, yang jelas dalil yang ia gunakan dan orang semacamnya yang tersebar dalam aliran wahhabi adalah hadits dalam shohih Bukhori.

“Dulu Rosululloh SAW keluar pada hari raya idul fitri dan idul adha menuju mushola.” (Shohih Bukhori 2/370 (956); Fathul Bari Syarah Bukhori 3/378; Al-Baihaqi 3/280).

Yang dimaksud mushola adalah tempat di Madinah yang berjarak seribu dziro dari pintu masjid nabawi. Hadits ini mununjukan bahwa Rosululloh SAW melaksanakan sholat ‘id tidak di dalam masjid, melainkan di tempat lapang.

Pertanyaannya, apakah melaksanakannya di dalam masjid adalah perbuatan bid’ah yang sesat?

Setelah membuka kitab fiqih 4 madzhab saya menemukan dua jawaban mengenai hukum melaksanakan sholat ‘id di dalam masjid, yaitu makruh dan mubah. Hukum makruh diajukan oleh madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.

Hanya saja madzhab Maliki dan Hanbali mengecualikan masjidil harom. Berbeda dengan madzhab Hanafi yang tidak mengecualikannya. Menurut mereka melaksanakan sholat ‘id di dalam masjid hukumnya tetap makruh sekalipun di masjidil harom. (Kitabul Fiqh Alal Madzahib Al-Arba’ah 1/319)

Ingin Tahu Apa Hukum Sholat Idul Fitri Di Dalam Masjid

Sementara hukum mubah diajukan oleh madzhab Syafi’i. Al-Imam Abi Zakariya Zahya Bin Syarof An-Nawawi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi berkata:

تَجُوزُ صَلَاةُ الْعِيدِ فِي الصَّحْرَاءِ وَتَجُوزُ فِي الْمَسْجِدِ فَإِنْ كَانَ بِمَكَّةَ فَالْمَسْجِدُ الْحَرَامُ أَفْضَلُ بِلَا خِلَافٍ

Artinya: “Sholat ‘id boleh dilaksanakan di tanah lapang dan boleh juga di dalam masjid. Apabila di Makkah, maka Masjid Harom lebih utama tanpa ada perbedaan pendapat.” (Majmu’ Syarah Muhadzzdab 5/5; Roudhotut Tholibin 2/60)

Sholat Qobliyah dan Ba'diyah 


Disamping menyesatkan orang yang melaksanakan sholat ‘id di dalam masjid, Wahhabi juga menyesatkan orang yang melaksanakan sholat sunah sebelum ‘id dan sesudahnya. Namun setelah mengkaji masalah ini ternyata klaim mereka berbeda dengan komentar Imam Syafi’i.

Imam Syafi’i yang mendapat gelar nasirussunah (Penolong sunah-red) berpendapat bahwa sholat sunah sebelum sholat ‘id dan sesudahnya tidaklah tercela. Kata beliau:

ولا أرى بأسا أن يتنفل المأموم قبل صلاة العيد وبعدها

Artinya: “Menurut ku tidaklah tercela apabila makmum melakukan sholat sunah sebelum sholat ‘id dan sesudahnya.” (Al-umm 1/268)

Manakala kita buka kitab-kitab fiqih, maka kita akan tahu bahwa persoalan ini termasuk masalah khilafiyah fiqhiyah. Sekalipun mayoritas ulama berpendapat bahwa sebelum dan sesudah sholat ‘id tidak disunahkan melakukan sholat, namun ada sebagian ulama yang mengatakan sunah.

Imam Qurthubi berkata: “Para ulama berbeda pendapat mengenai sholat sunah sebelum dan sesudah ‘id. Mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘id. Pendapat ini diriwayatkan dari Ali Bin Abi Tholib, Ibn Mas’ud, Hudzaifah, dan Jabir. Inilah yang diikuti oleh Imam Ahmad.

Pendapat kedua mengatakan bahwa disunahkan melakukan sholat sebelum dan sesudah sholat ‘id. Pendapat ini berasal dari sahabat Anas dan Urwah yang kemudian diikuti oleh Imam Syafi’i.” (Bidayatul Mujtahid 1/160; Kitabul Fiqh Alal Madzahib Al-Arba’ah 1/320)

Pertanyaan Saya Kepada Wahhabi


Setelah mengkaji masalah ini, saya melihat banyak sekali perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan perbuatan Rosul yang dilakukan oleh orang-orang setelah beliau. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan oleh Marwan.

Salah satu sahabat Nabi ini menggunakan mimbar saat khutbah di hari ‘id. Ia juga mendahulukan khutbah ‘id sebelum sholat. Padahal Rosululloh SAW tidak pernah melakukan hal itu. Karenanya, seseorang berkata kepadanya : “Wahai Marwan engkau telah menyelisihi sunah.”

Ternyata Wahhabi juga melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan perbuatan Rosul. Seperti saat pergi ke tempat lapang, mereka naik kendaraan; atau saat pergi dan pulang dari tanah lapang, mereka melalui jalan yang sama; atau saat khutbah, imam mereka berdiri di atas mimbar; atau saat sholat, mereka menggunakan karpet, tikar dan sajadah.

Padahal Rosul tidak melakukan semua itu. Saat menuju tanah lapang, beliau tidak pernah naik kendaraan. Saat pulang, beliau melewati jalan yang berbeda dari jalan yang beliau lalui ketika berangkat. Saat khutbah, beliau tidak menggunakan mimbar. Saat sholat, beliau tidak menggunakan karpet atau tikar ataupun sajadah.

Jika setiap melakukan hal yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Rosul disebut sebagai amalan bid’ah yang sesat, maka konsekuwensi logisnya adalah Wahhabi harus menyebut sahabat Marwan dan juga diri mereka sendiri sebagai orang sesat. Sebab mereka melakukan perbuatan yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Rosul.

Pertanyaan saya kepada Wahhabi: Apakah anda berani mengatakan bahwa anda adalah orang  sesat karena anda telah melakukan perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Rosululloh?

Kesimpulan


Walhasil, masalah pelaksanaan sholat ‘id di dalam masjid serta masalah sholat sunah sebelum sholat ‘id dan sesudahnya adalah merupakan masalah khilafiyah fiqhiyah. Perbedaan seperti ini sudah menjadi hal yang biasa dan jumlahnya luar biasa banyaknya yang tersebar di dalam kitab-kitab fiqih.

Namun fenomena itu tidak dipersoalkan oleh para ulama. Justru mereka mencari solusi untuk menghindari perselisihan yang berkepanjangan agar umat islam tidak ribut terus hanya karena masalah khilafiyah dalam koridor furu’iyah.

Solusi yang mereka berikan adalah dengan merakit sebuah kaidah yang telah dikenal oleh seluruh pelajar islam; yaitu: “Perbedaan pendapat tidaklah diingkari sesungguhnya yang diingkari itu adalah ijma’.” (Asybah Wannazho’ir 1/158 kaidah 35)

Utsaimin yang merupakan salah satu ulama kebanggaan wahhabi juga menerima kaidah tersebut. Katanya, amalan yang menjadi khilafiyah ulama ahlu sunah tidaklah disebut sebagai bid’ah. Dalam Ta’liqotnya, ia berkata:

أما ما اختلف فيه علماء السنة فإننا لا نقول بدعة وإلا كان كل مسألة فيها خلاف يكون المخالف فيها مبتدعا

Artinya: “Adapun sesuatu yang diperselisihkan oleh ulama sunah maka kami tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Jika tidak begitu maka setiap masalah yang didalamnya terdapat perbedaan, berarti orang yang menentang adalah pembuat bid’ah.” (Ta’liqot Ibn Utsaimin Alal Kafi Libni Qudamah 1/377).


Oleh karena dua persoalan ini termasuk masalah khilafiyah fiqhiyah dikalangan ulama ahlu sunah waljama’ah, maka siapapun orangnya ia tidak boleh menyalahkan orang lain yang tidak sependapat dengannya, lebih-lebih sampai menyesatkan. Tidak boleh itu. Wallohu a’lam.  

Comments

Popular posts from this blog

Nabi Muhammad Mempersaudarakan Muhajir dan Anshor

Persaudaraan  Muhajir dan Anshor Madinah yang saat itu bernama Yatsrib merupakan fase  baru  dalam hidup Nabi Muhammad . Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan  kepala  sebagai  tanda  hormat  dan  rasa  kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib - tanah airnya yang baru - ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang  sebelum  itu  di  seluruh  wilayah  Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada. Sekarang Nabi Muhammad bermusyawarah dengan kedua wazirnya  Abu  Bakr dan  Umar  -  demikianlah  mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang  mula-mula  ialah  menyusun barisan  kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala  bayangan  yang  akan  membangkitkan  api permusuhan  lama di kalangan mereka itu. Strategi Nab

Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, Bagaimana hukumnya?

Persoalan Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, saat ini banyak dibicarakan di medsos. Mereka mencoba menjawab pertanyaan Bagaimana hukumnya? Ilustrasi Jawaban Tidak ada yang mensyaratkan sholat jum'at harus di dalam masjid selain madzhab Maliki. Madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas warga Indonesia, tidak melarang sholat jum'at di luar masjid. Itu artinya, sholat jum'at di jalan raya tetap sah. Berikut ta'bir dalam kitab-kitab madzhab syafii: قال في حاشية الشرواني على تحفة المنهج قول المتن في خطة أبنية...... الخ اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في مغني المحتاج على المنهاج ص ٤١٧ جز اول في قول المتن( أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمّعين) اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في شرح المحلي على المنهاج ص ٢٧٢ جز اول   في قول المتن ( أن تقام في خطّة أبنية أوطان المجمّعين) لأنها لم تقم في عصر النّبيّ صلى اللّه عليه وسلّم والخلفاء الراشدين إلاّ في مواضع الإقامة كما هو معلوم وهي ما ذكر سواء فيه المسجد والدّار والفضاء ..اھ قال

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu , - Dalam al-quran, diahir surat anisa’ ayat 47 terdapat kalimat (yang artinya) “atau kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari sabtu...” Di sana terdapat kalimat hari sabtu dan tentunya ini melahirkan pertanyaan tentang hari sabtu dan itulah yang ditanyakan oleh member grup Fiqih Madzhab Syafi’i yang saya dirikan di facebook. Berikut pertanyaan tentang Tafsir Surat An-Nisa Ayat 47 Tentang Hari Sabtu. Alam Poetra Losariez السلا م عليكم .... Mohon penjelasan para alim,ustadz,ustadzah . Dalam surat an_nisa ayat 47 (d terakhir surat )yangg ber bunyi : ٠٠٠٠اونلعنهم كما لعنا اصحب السبت وكان امرالله مفعولا(٤٧) “... ataw kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang(yang berbuat maksiat) pada hari sabat(sabtu).dan ketetapan bagi allah pasti berlaku(Q,S an_nisa ayat 47) Pertanyaannya ... : ada apa dengan hari sabtu ? apakah hari sabtu hari yang d istimewakan a