Skip to main content

Kesalahan Ust. Abu Jauza' Dalam Memahami Tawwasul Fersi Imam Ahmad

Artikel Kesalahan Ust. Abu Jauza' Dalam Memahami Tawwasul Fersi Imam Ahmad adalah tanggapan untuk Ustad Abul Jauza yang melalui blognya dalam sebuah artikel mengajak para pembaca untuk bersikap kritis terhadap pendapat Imam Ahmad terkait tawwasul di mana sang Imam dalam salah satu riwayatnya membolehkan tawwasul dengan zat Nabi secara husus. 

Alasannya karena ucapan Imam Ahmad masih bersifat mujmal. Beliau tidak menjelaskan redaksi tawwasul yang beliau kehendaki. Katanya:

Kesalahan Ust. Abu Jauza' Dalam Memahami Tawwasul Fersi Imam Ahmad


Kemudian ia menukil pendapat lain dari madzhab Hanbali sebagai berikut:

“Asy-Syaikh Taqiyyuddiin menjadikan permasalahan itu seperti permasalahan bersumpah dengannya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Ia berkata : ‘Dan tawassul dengan keimanan kepadanya, ketaatan kepadanya, dan kecintaan kepadanya - wash-shalaatu was-salaamu ‘alaihi -. Dan juga bertawassul dengan doanya, syafa’atnya, dan yang semisalnya dari macam perbuatan yang dilakukannya (orang yang bertawassul) atau perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkan (Allah) untuk dilakukan dalam hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal itu disyari’atkan berdasarkan ijmaa’. Hal itu merupakan wasiilah yang diperintahkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah ta’ala : ‘Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasiilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya’ (QS. Al-Maaidah : 35). Ahmad dan yang lainnya dari kalangan ulama berkata tentang sabda beliau ‘alaihi afdlalush-shalaati was-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya) : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk” [Al-Inshaaf, 2/456].

Di ahir artikel, Ustd Abul Jauza membuat kesimpulan bahwa keterangan dari kitab al-inshof adalah penjelas dari kemujmalan pendapat imam Ahmad terkait tawasul dengan zat nabi.

"Tawassul dimaksud bukanlah tawassul dengan perantaraan diri (dzat atau kemuliaan) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan amalan- amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau."

Tanggapan 


Kesalahan Ustad Abul Jauza dan Wahhabi Pada Umumnya


Sebelum menulis tanggapan terhadap kesimpulan yang diberikan oleh Ust Abul Jauza', saya ingin menunjukan kekeliruan sang ustad dan wahhabi pada umumnya dalam mengkategorikan masalah tawwasul. Dalam breadcrumbs terlihat bahwa sang ustad memasukan tawwasul sebagai masalah aqidah. Berikut screen shotnya:

Kesalahan Ust. Abu Jauza' Dalam Memahami Tawwasul Fersi Imam Ahmad



Padahal, menurut Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab, persoalan tawwasul adalah masalah fiqih. Saya bertanya-tanya, jika dalam mengkategorikan tawwasul, Ustad Abul Jauza mengalami kesalahan, lalu bagaimana bisa ia mengajak pembacanya untuk kritis?

Dan yang pasti 'kritis' yang diucapkan oleh sang ustad hanya sekedar pemanis saja yang tujuannya untuk menutupi kefanatikannya. Kita akan buktikan itu.

Mengkritisi Ucapan Ustad Abul Jauza


Dalam artikelnya, ustad Abul Jauza mengatakan bahwa ucapan Imam Ahmad bersifat mujmal. Beliau tidak menjelaskan bagaimana bentuk tawwasul yang dikehendaki. Ucapan Imam Ahmad Yang Dimaksud adalah apa yang dinukil oleh Ibnu Taimiyah sebagai berikut:

وسل الله حاجتك متوسلا اليه بنبيه ( صلى الله عليه وسلم ) تقض من الله عز وجل

“Dan mohonlah hajatmu kepada Allah dengan bertawassul melalui perantaraan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah ‘azza wa jalla akan memenuhinya” [Ar-Radd ‘alal-Akhnaa’iy, hal. 168; Al-Mathba’ah As-Salafiyyah, Kairo].

Oleh karena yang menukil ucapan itu adalah Ibn Taimiyah, seharusnya Ustad Abul Jauza' mencari rujukan dari Ibn Taimiyah mengenai maksud pendapat Imam AHmad Tersebut. Bukan malah menukil pendapat ulama lain. 

Jika kita merujuk pada penjelasan Ibn Taimiyah, maka tawwasul yang dikehendaki oleh Imam Ahmad tidak seperti apa yang disimpulkan oleh Ustad Abul Jauza'. Melainkan tawwasul dengan zat (diri) Nabi. 

Ibn Taimiyah Dalam Majmu' Fatawa berkata:

وَأَمَّا قَوْلُ الْقَائِلِ : اللَّهُمَّ إنِّي أَتَوَسَّلُ إلَيْك بِهِ . فَلِلْعُلَمَاءِ فِيهِ قَوْلَانِ : كَمَا لَهُمْ فِي الْحَلِفِ بِهِ قَوْلَانِ : وَجُمْهُورُ الْأَئِمَّةِ كَمَالِكِ ؛ وَالشَّافِعِيِّ ؛ وَأَبِي حَنِيفَةَ : عَلَى أَنَّهُ لَا يَسُوغُ الْحَلِفُ بِغَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمَلَائِكَةِ وَلَا تَنْعَقِدُ الْيَمِينُ بِذَلِكَ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ وَهَذَا إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ ، وَالرِّوَايَةُ الْأُخْرَى تَنْعَقِدُ الْيَمِينُ بِهِ خَاصَّةً دُونَ غَيْرِهِ ؛ وَلِذَلِكَ قَالَ أَحْمَدُ فِي مَنْسِكِهِ الَّذِي كَتَبَهُ للمروذي صَاحِبِهِ : إنَّهُ يُتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ

Artinya: Adapun ucapan orang : اللَّهُمَّ إنِّي أَتَوَسَّلُ إلَيْك بِهِ (Ya Alloh sesungguhnya aku bertawasul kepada Mu dengan perantara Nabi), maka dalam hal ini ulama memiliki dua pendapat sebagaimana dalam masalah bersumpah dengan nabi.

Jumhur para imam seperti Imam Malik, Syafi’i dan abu Hanifah mengatakan bahwa sumpah tidak boleh dengan selain dengan Nama Alloh seperti nabi, malaikat. Dan sumpah dengan nama-nama itu tidaklah sah. Pendapat ini adalah salah satu dari dua riwayat imam Ahmad.

Riwayat lain dari Imam Ahmad mengatakan bahwa sumpah dengan nabi sah secara husus tidak dengan selain nama nabi muhammad. Karenanya Imam Ahmad berkata kepada sahabatnya; Mawardzi, bahwasanya beliau bertawasul dengan nabi di dalam doanya. (Majmu’ Fatawa 1/140)

Perhatikan kalimat

وَأَمَّا قَوْلُ الْقَائِلِ : اللَّهُمَّ إنِّي أَتَوَسَّلُ إلَيْك بِهِ

Kalimat di atas adalah bentuk tawasul dengan zat nabi.

Perhatikan kalimat:

وَالرِّوَايَةُ الْأُخْرَى تَنْعَقِدُ الْيَمِينُ بِهِ خَاصَّةً دُونَ غَيْرِهِ ؛ وَلِذَلِكَ قَالَ أَحْمَدُ فِي مَنْسِكِهِ الَّذِي كَتَبَهُ للمروذي صَاحِبِهِ : إنَّهُ يُتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 

وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ

Kalimat di atas adalah bukti bahwa menurut Ibn Taimiyah, Imam Ahmad Membolehkan Tawwasul Dengan Zat Nabi. 

Kesimpulan ini diperkuat dengan nukilan Ibn Taimiyah dalam kitab Ar-Rod Alal Akhna'i hlm. 181 sebagai berikut:
Kesalahan Ust. Abu Jauza' Dalam Memahami Tawwasul Fersi Imam Ahmad


Perhatikan kalimat yang diberi stabilo merah ssebagaiberikut:

وسل الله حاجتك متوسلا اليه بنبيه ( صلى الله عليه وسلم ) تقض من الله عز وجل

Artinya: "Mintalah kepada hajatmu Alloh dengan bertawwasul dengan nabi SAW maka Alloh akan mengabulkan."

Jika maksud tawwasul yang dikehendaki oleh Imam Ahmad adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ust. Abul Jauza' yaitu bertawassul dengan amalan- amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau, mengapa Imam Ahmad tidak menyuruh bertawasul dengan amalan-amalan kita? Jawab wahai Wahhabiyuuun!!!!!!!!


Ketidak Jujuran Ustad Abul Jauza


Dalam menukil kitab al-inshof, ternyata Ustad Abul Jauza tidak jujur. Ia tidak menyertakan pendapat sebelumnya sehingga apa yang menjadi pendapat madzhab hanbali menjadi rancu. Ini bukan tanpa tujuan. Tujuannya adalah untuk memuluskan kesimpulannya yang mana kesimpulannya itu memiliki tujuan picik yang di dasari oleh sikap fanatisme tingkat tinggi. 

Pendapat yang tidak disertakan oleh ustad abul jauza saat menukil kitab al inshof adalah sebagai berikut:

يجوز التوسل بالرجل الصالح على الصحيح من المذهب وقيل : يستحب 
 قال الإمام أحمد للمروذي : يتوسل بالنبي صلى الله عليه و سلم في دعائه وجزم به في المستوعب وغيره 

Jadi pendapat sebelumnya mengatakan bahwa diperbolehkan tawasul dengan orang sholih menurut pendapat madzhab yang sholih. Dan dikatakan: sunah. Imam ahmad bekata kepada Mawardzi: Nabi Muhammad SAW dijadikan sebagai wasilah di dalam doanya. 

Baru setelah itu disebutkan pendapat Syekh taqiyuddin sebagaimana yang dinukil oleh Ustad Abul Jauza'.

Kesimpulan


Tawasul ada tiga macam. Tawasul dengan Iman, Tawwasul dengan amal sholih dan Tawwasul dengan zat. Seluruh ulama sepakat atas bolehnya tawwasul dengan iman dan tawwasul dengan amal sholih. Namun mereka berbeda pendapat terkait tawwasul dengan zat seseorang. Dan menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad, tawwasul dengan zat Nabi itu boleh.

Mengenai bentuk kalimatnya - yang sependek pengetahuan Ustad Abul Jauza - Imam Ahmad tidak menyebutkan bentuk kalimat tawassul-nya, telah dijelaskan oleh Ibn Taimiyah dalam kitab Majmu' sebagaimana yang telah saya nukilkan di atas. 

Kesalahan Ust. Abu Jauza' Dalam Memahami Tawwasul Fersi Imam Ahmad ini adalah dia tidak memahami masalah perbedaan pendapat. Sehingga riwayat imam Ahmad yang mendukung tawwasul dengan zat Nabi, ditahrif sedemikian rupa sekalipun tampak sekali dipaksakan agar riwayat itu seolah-olah memberi pengertian bahwa tawwasul yang dikehendaki oleh Imam AHmad adalah tawwasul yang menjadi ijma'. 

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Nabi Muhammad Mempersaudarakan Muhajir dan Anshor

Persaudaraan  Muhajir dan Anshor Madinah yang saat itu bernama Yatsrib merupakan fase  baru  dalam hidup Nabi Muhammad . Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan  kepala  sebagai  tanda  hormat  dan  rasa  kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib - tanah airnya yang baru - ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang  sebelum  itu  di  seluruh  wilayah  Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada. Sekarang Nabi Muhammad bermusyawarah dengan kedua wazirnya  Abu  Bakr dan  Umar  -  demikianlah  mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang  mula-mula  ialah  menyusun barisan  kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala  bayangan  yang  akan  membangkitkan  api permusuhan  lama di kalangan mereka itu. Strategi Nab

Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, Bagaimana hukumnya?

Persoalan Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, saat ini banyak dibicarakan di medsos. Mereka mencoba menjawab pertanyaan Bagaimana hukumnya? Ilustrasi Jawaban Tidak ada yang mensyaratkan sholat jum'at harus di dalam masjid selain madzhab Maliki. Madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas warga Indonesia, tidak melarang sholat jum'at di luar masjid. Itu artinya, sholat jum'at di jalan raya tetap sah. Berikut ta'bir dalam kitab-kitab madzhab syafii: قال في حاشية الشرواني على تحفة المنهج قول المتن في خطة أبنية...... الخ اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في مغني المحتاج على المنهاج ص ٤١٧ جز اول في قول المتن( أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمّعين) اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في شرح المحلي على المنهاج ص ٢٧٢ جز اول   في قول المتن ( أن تقام في خطّة أبنية أوطان المجمّعين) لأنها لم تقم في عصر النّبيّ صلى اللّه عليه وسلّم والخلفاء الراشدين إلاّ في مواضع الإقامة كما هو معلوم وهي ما ذكر سواء فيه المسجد والدّار والفضاء ..اھ قال

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu , - Dalam al-quran, diahir surat anisa’ ayat 47 terdapat kalimat (yang artinya) “atau kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari sabtu...” Di sana terdapat kalimat hari sabtu dan tentunya ini melahirkan pertanyaan tentang hari sabtu dan itulah yang ditanyakan oleh member grup Fiqih Madzhab Syafi’i yang saya dirikan di facebook. Berikut pertanyaan tentang Tafsir Surat An-Nisa Ayat 47 Tentang Hari Sabtu. Alam Poetra Losariez السلا م عليكم .... Mohon penjelasan para alim,ustadz,ustadzah . Dalam surat an_nisa ayat 47 (d terakhir surat )yangg ber bunyi : ٠٠٠٠اونلعنهم كما لعنا اصحب السبت وكان امرالله مفعولا(٤٧) “... ataw kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang(yang berbuat maksiat) pada hari sabat(sabtu).dan ketetapan bagi allah pasti berlaku(Q,S an_nisa ayat 47) Pertanyaannya ... : ada apa dengan hari sabtu ? apakah hari sabtu hari yang d istimewakan a