Menurut wahhabi bidah tidak boleh dibagi. Nabi bersabda setiap
bidah adalah sesat. Nabi yang maksum tidak membagi bidah. Namun ulama yang
tidak maksum membagi bidah. Apakah anda akan memilih pembagian ulama yang tidak
maksum dan meninggalkan sabda nabi yang maksum?
Tentu saja saya akan memilih nabi yang maksum.
Sebagai pengikut nabi yang haus akan ilmu pengetahuan nabawiyah saya mencoba
mencari penjelasan lebih mengenai bidah. Dengan bermodalkan maktabah syamilah
yang berisi 29.000 judul kitab, saya kira cukup untuk mencari refrensi yang
membahas masalah ini.
Dan benar, saya menemukan puluhan bahkan
ratusan kitab yang membahas masalah bidah. Saya pun membaca kitab-kitab itu.
Pertama-tama saya baca kitab Al-Ibda’ Fi Kamalisy Syar’I Wa khothoril Ibda’
yang ditulis oleh Syekh Utsaimin. Saya mulai membaca kitab itu dan pada halaman
13 mendapati kalimat berikut:
قوله
(كل بدعة ضلالة) كلية عامة شاملة مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل) أفبعد هذه
الكلية يصح أن نقسم البدعة إلي أقسام ثلاثة او إلي أقسام خمسة؟ أبدا هذا لايصح
Artinya: “Sabda Nabi (Semua bid’ah sesat) bersifat global, umum,
menyeluruh dan dipagari menggunakan perabot yang paling kuat yaitu “kullu”
(seluruh). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi
bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan
pernah sah.”
Pembagian Bidah Fersi Utsaimin
Saya pikir benar juga ucapan sang Syekh. Namun
saya masih belum puas. Karenanya saya mencoba menjelajahi kitab sang Syekh yang
lain dan saya mendapati kitab beliau berjudul Syarhul Aqidah Al-wasitiyah. Saya
baca kitab itu dan pada halaman 639 saya mendapati kalimat berikut:
الأصل
في أمور الدنيا الحل فما أبتدع منها فهو حلال إلا أن يدل الدليل علي تحريمه لكن
أمور الدين الأصل فيها الحظر فما أبتدع منها فهو حرام بدعة إلا بدليل من الكتاب
والسنة علي مشروعيته
Artinya: “Hukum asal perbuatan baru dalam
urusan-urusan dunia (Bid’ah dunia-red) adalah halal. Jadi bid’ah dalam
urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang menunjukan keharamannya.
Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama (Bid’ah agama-red) adalah
dilarang. Jadi berbuat bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah
kecuali ada dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.”
Saya terkejut sebab di sini sang Syekh membagi
bidah menjadi dua. Bidah dunia dan bidah agama. Padahal dalam kitab Al-Ibda’ Fi
Kamalisy Syar’i Wa khothril Ibda’ beliau melarang pembagian bidah.
Ah barang kali saya yang salah memahami. Maka
saya membaca ulang kitab itu. Saya fokus pada dua kalimat berikut:
Pertama: Hukum asal
perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia. Kedua: Tetapi hukum asal perbuatan baru dalam urusan agama.
Kalimat yang pertama menjelaskan bidah dunia
sedangkan kalimat yang kedua menjelaskan bidah agama. Saya makin terkejut sebab
ternyata benar, sang syekh yang sebelumnya melarang pembagian bidah, kali ini
beliau membagi bidah. Ini adalah kontradiksi.
Setelah membagi bidah menjadi bidah dunia dan
bidah agama, Syekh Utsaimin juga membagi masing-masing kedua bidah itu.
Perhatikan dua kalimat berikut:
Pertama: Bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal kecuali ada dalil yang
menunjukan keharamannya. Kedua: Bid’ah dalam urusan agama adalah haram dan bid’ah kecuali ada
dalil dari al-Kitab dan as-sunah yang menunjukan disyari’atkannya.
Mafhumnya: Bidah dunia ada dua; yang halal dan
yang haram. Bidah dunia yang halal adalah bidah yang tidak ada dalil
pengharamannya. Sedangkan yang memiliki dalil pengharaman maka hukumnya haram.
Bidah agama juga ada dua; yang haram dan yang halal. Bidah agama yang haram
adalah bidah yang tidak memiliki dalil. Sedangkan yang memiliki dalil maka
hukumnya halal.
Saya bertambah terkejut sebab ternyata benar,
sang syekh yang sebelumnya melarang pembagian bidah, kali ini beliau membagi
bidah. Ini adalah kontradiksi.
*** Ah! lupakan saja keterkejutan saya.
Barangkali itu lahir dari kebodohan saya dalam memahami ucapan Syekh Utsaimin.
Pembagian Bidah Fersi Sholih Bin Abdul Aziz
Saya mencari refrensi lain. Mungkin saya akan
menemukan fatwa ulama yang mudah dipahami. Saya beralih ke kitab As-Sunah
Walbidah karya Syekh Sholih Bin Abdul Aziz Alu Syekh. Alu Syekh merupakan gelar
membanggakan di kalangan salafi. Gelar ini hanya diberikan kepada keturunan
Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab.
Saya mulai membaca kitab As-Sunah Walbidah.
Saat sampai pada halaman 7, saya menemukan penjelasan sepertiberikut:
إذن حصلنا من ذلك على أن البدع
نوعان: بدع أصلية: وهي التي تكون محدثة من حيث الأصل ومن حيث الوصف.
وبدع إضافية: يكون أصلها مشروعا؛ ولكن هيأتها محدثة من
مثل الصلاة على النبي عَلَيْهِ الصَّلاَةُ والسَّلاَمُ على المآذن بعد الفراغ من
الأذان، ومن مثل الاجتماع على الذكر على نحو معين بصفة معينة ملتزمة. فهذا من حيث هو مشروع في الأصل؛
لأن الصلاة على النبي عَلَيْهِ الصَّلاَةُ والسَّلاَمُ مأمور بها في الكتاب
والسنة؛ لكن هذه الهيئة جعلت تلك الهيئة مخترعة، فسُمّيت بدعة إضافية ليست أصلية
لأن أصلها مشروع؛ لكنها إضافية يعني أن البدعة جاءت من حيث الهيئة، لا من حيث
الأصل، فهذا النوع من التعبد بها بدعة؛ لكن أصلها مشروع.
Artinya: “Dengan begitu maka kita simpulkan
bahwa bid’ah terbagi menjadi dua macam. (Pertama), Bid’ah Asliyah,
yaitu hal baru dilihat dari segi asal dan sifat. (Kedua) Bid’ah Idhofiyah
yaitu asalnya disyariatkan, tetapi cara/bentuknya adalah hal baru. Seperti
membaca sholawat atas Nabi setelah selesai azan. Contoh lainnya adalah
berkumpul untuk berzikir dengan sifat tertentu. Contoh-contoh ini pada asalnya
disyariatkan. Sebab membaca sholawat atas nabi merupakan perintah al-quran dan
hadits. Tetapi cara pelaksanaanya adalah merupakan hasil ciptaan. Maka Bid’ah
ini disebut sebagai bid’ah idhofiyah, bukan bid’ah asliyah sebab pada asalnya
ia disyariatkan. Tetapi bid’ah tersebut hanya merupakan idhofiyah, yakni bid’ah
dilihat dari segi cara pelaksanaannya bukan dilihat dari segi asalnya. Ini
adalah merupakan ibadah yang bid’ah tetapi pada asalnya ia disyariatkan.”
Berikut screen shotnya:
Berikut screen shotnya:
Perhatikan kalimat yang berwarna merah. Dengan tegas Syekh Sholih Bin Abdul Aziz Alu Syekh membagi bidah menjadi dua; bidah ashliyah dan bidah idhofiyah. Apakah saya salah dalam memahami ucapan ulama?
*** Saya harap anda tidak menjadi orang dungu
dengan mengatakan saya salah dalam memahami ucapan ulama.
Pembagian Bidah Fersi Ibn Taimiyah
Saya masih haus ilmu pengetahuan dan saya
tidak puas menyimpulkan sesuatu hanya dengan merujuk dua fatwa ulama. Oleh
karena itu saya mencari kitab lain sebagai refrensi. Dus, saya menemukan kitab
Majmu’ Fatwa karya (kata wahhabi) Syekhul Islam Ibn Taimiyah. Saya langsung
menuju halaman yang membahas soal bidah dan saya menemukannya pada juz 20
halaman 163 dengan redaksi sebagaiberikut:
ومن
هنا يعرف ضلال من ابتدع طريقا او اعتقادا زعم أن الإيمان لا يتم إلا به مع العلم
بأن الرسول لم يذكره وما خالف النصوص فهو بدعة باتفاق المسلمين وما لم يعلم أنه
خالفها فقد لا يسمى بدعة . قال الشافعي البدعة بدعاتان بدعة خالفت كتابا وسنة
وإجماعا وأثرا عن بعض أصحاب رسول الله فهذه بدعة ضلالة . وبدعة لم تخالف شيئا من
ذلك وهذه قد تكون حسنة لقول عمر نعمت البدعة هذه . هذا الكلام أو نحوه رواه
البيهقي بإسناده الصحيح في المدخل
Artinya: “Dari sini diketahui kesesatan orang
yang membuat jalan atau aqidah yang menganggap bahwa iman tidak sempurna
kecuali dengan jalan atau aqidah itu bersamaan dengan itu ia mengetahui bahwa
Rosul tidak menyebutkannya dan sesuatu yang bertentangan dengan nas maka semua
itu adalah bidah sesuai dengan kesepakatan umat islam. Sedangkan bidah yang
tidak diketahui bertentangan dengan nas, maka sesungguhnya terkadang ia tidak
disebut bidah.
Imam Syafii berkata: Bidah ada dua. (Pertama)
Bidah yang bertentangan dengan kitab, sunah, ijma dan asar dari sebagian
sahabat nabi, maka ini adalah bidah yang sesat. (Kedua) bidah yang sama
sekali tidak bertentangan dengan empat hal tersebut maka bidah ini terkadang
baik sebab ucapan Umar : ini adalah sebaik-baik bidah. Ucapan ini dan yang
semisalnya diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shohih dalam Al-Madkhol.”
Berikut screen shotnya:
Berikut screen shotnya:
Jadi menurut Ibn Taimiyah bidah itu ada dua. Pertama,
Bidah yang bertentangan dengan nas. Bidah ini disebut sebagai bidah dholalah. Kedua,
Bidah yang tidah bertentangan dengan nas. Bidah ini disebut sebagai bidah
hasanah.
Kesimpulan:
Bidah menurut Wahhabi tidak boleh dibagi. Orang yang membagi bidah berarti
menentang Rosul. Karena wahhabi sendiri yang membagi bidah berarti wahhabi yang
menentang Rosul.
Saya teringat sebuah kaidah tentang kebatilan;
al-batil mutanaqidh. Artinya kebatilan pasti kontradiksi. Saya bertanya-tanya,
apakah kontradiksi yang terjadi pada wahhabi ini merupakan bukti bahwa pendapat
wahhabi itu batil? Wallohu a’lam.
assalamu'alaikum ustadz, kitab maktabah syamilah yg 29.000 judul bisa didapat darimana? trims ustadz.
ReplyDeletehttp://maktabahsyamilah.com/download/
Delete