Sebenarnya artikel ini telah saya tulis setahun yang
lalu. Saya menulisnya karena ada teman yang meminta penjelasan Pujian
Sebelum Sholat Fardlu sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat islam di
Indonesia yang oleh wahhabi disebut sebagai bidah sesat.
Pujian Sebelum Sholat Fardlu adalah membaca sholawat dengan bentuk syair. Terkadang disertai dengan syair-syair berbahasa jawa yang subtansinya berupa pujian kepada Rosululloh, atau nasehat atau do’a.
Biasanya pujian
dilakukan antara adzan dan iqomat. Tepatnya setelah sholat sunah qobliyah.
Tujuannya adalah untuk menanti kedatangan Imam dan jama’ah lainnya. Maka dari
itu, pujian hanya dilakukan ketika Imam belum datang. Jika Imam sudah datang,
maka tidak ada pujian.
Jadi Pujian Sebelum
Sholat Fardlu bertujuan untuk menunggu
Imam dan jama’ah lainnya dengan bersholawat yang bentuknya berupa syair. Oleh karena itu artikel ini
akan menjawab tiga pertanyaan terkait tujuan dari Pujian sebelum sholat
fardhu; Bagaimana hukum menunggu Imam dan jama’ah? Bagaimana hukum
bersholawat? Bagaimana hukum Melantunkan Syair?
1. Bagaimana
hukum menunggu Imam dan jama’ah?
Menunggu Imam
sebelum sholat hukumnya adalah sunah menurut Imam Syafi’I dan Imam Abu
Hanifah sebagaimana yang dijelaskan dalam Kitabul Fiqhi Ala Madzahibil Arba’ah,
sebagai berikut:
يسن للمؤذن أن يجلس بين الأذان والإقامة بقدر ما
يحضر الملازمون للصلاة في المسجد
Artinya: “Bagi
Muadzin disunahkan duduk diantara adzan dan iqomah sekiranya orang-orang yang
istiqomah sholat di masjid datang.”(Kitabul Fiqhi Ala Madzahibil Arba’ah, Juz 1
hlm 294, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyah.)
2. Bagaimana Hukum Bersholawat?
Hukum
bersholawat adalah sunah kalau tidak boleh dikatakan wajib. Hal ini karena
banyaknya perintah agar kita bersholawat. Salah satunya adalah surat Al-Ahzab:
56. Melihat
keumuman ayat tersebut, maka kita boleh membaca sholawat kapan saja termasuk
sebelum sholat fardhu. Dengan demikian Pujian Sebelum Sholat Fardlu dengan
melantunkan syair berupa sholawat. termasuk dalam ke umumannya.
3. Bagaimana
Hukum Melantunkan Syair?
Sebagian orang
ada yang melarang melantunkan syair sholawat dan Pujian Sebelum Sholat
Fardlu dengan dalil surat Yasin: 69
وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِى
لَهُ إِنْ هُوَ إِلّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِيْن
Artinya: “Dan
Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah
layak baginya. Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang
memberi penerangan.”
Ayat tersebut
sama sekali tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk melarang Pujian
Sebelum Sholat Fardlu. Sebab ayat itu bukan larangan bersyair
melainkan bantahan atas tuduhan orang-orang musyrik yang menuduh al-quran
sebagai syair dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah penyair sebagaimana
yang direkam dalam Ath-Thur: 30.
أَمْ يَقُوْلُوْنَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ ريب
المنون
Artinya: “Bahkan
mereka mengatakan: “Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan
menimpanya.” (Abul Qosim
Al-Qusyairi, Syaroful Mushthofa, Juz 4, hlm 102)
Untuk
memastikan bahwa Yasin: 69 bukan dalil larangan melantunkan syair, saya akan
nukilkan sebuah syair karya Ibn Rowahah yang dilantunkan Rosululloh SAW saat
perang Khondaq sebagai berikut:
اللهم لولا أنت
ما اهتدينا * ولا تصدقنا ولا صلينا
فأنزلن سكينة
علينا * وثبت الأقدامنا إن لاقينا
والمشركون قد
بغوا علينا * وإن أرادوا فتنة أبينا
(Nurul Yaqin Fi Siroti Sayyidil Mirsalin, hlm
161, cet. Al-Hidayah, Surabaya)
Adapun atsar
yang menceritakan bahwa Sayyidina Umar melarang seseorang bersyair sebelum
sholat fardhu, atsar tersebut juga tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk
melarang Pujian Sebelum Sholat Fardlu. Sebab dalam atsar itu tidak
dijelaskan syair apa yang dibaca orang tadi. Kecuali jika dalam atsar tersebut
dijelaskan bentuk syairnya berupa sholawat, maka ia bisa dijadikan sebagai
dalil.
Adalah suatu
hal yang mustahil, jika Sayyidina Umar Ra melarang orang yang bersyair memuji
Nabi Muhammad SAW. Sebab beliau sendiri sangat gemar memuji Rosululloh SAW.
Dapat dipastikan bahwa syair yang dibaca laki-laki itu, tidak berupa sholawat
ataupun pujian terhadap Rosulloh SAW. Maka wajar jika beliau melarang orang
itu.
Ada juga yang
menggunakan kalam imam syafi’I untuk melarang bersyair tanpa menjelaskan bentuk
syair yang beliau larang. Namun yang jelas, Imam Syafi’I tidak pernah melarang
syair yang bentuknya pujian terhadap Rosululloh SAW dan Ulama, serta syair
nasihat. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanya syair-syair karya beliau dalam
Diwan Imam Syafi’i.
Keberadaan
syair karya Imam Syafi’I tersebut menunjukan bahwa beliau tidak melarang semua
syair. Beliau hanya melarang syair yang tidak memiliki faidah. Dengan demikian
kalam Imam Syafi’I tidak bisa digunakan sebagai dalil untuk melarang syair.
Apalagi jika syair itu berupa sholawat dan pujian terhadap Rosululloh SAW.
Untuk
membuktikan bahwa Imam syafi’I tidak melarang syair, saya akan nukilkan salah
satu syair karya beliau, sebagi berikut:
أحب الصالحين
ولست منهم * لعلي أن أنال بهم شفاعة
(Diwan Imam
Syafi’I, Qofiyah ‘Ain, hlm 66)
Ada juga yang
mengatakan bahwa syair dan Pujian Sebelum Sholat Fardlu termasuk
tasyabuh bilkufar. Maka dari itu mereka melarangnya.
Menanggapi
orang-orang semacam itu saya katakan bahwa Pujian Sebelum Sholat
Fardlubukan tasyabuh bilkufar melainkan menandingi kufar sebagaimana saat
mujahid palestina menggunakan senjata produk kufar. Penggunaan ini bukan
tasyabuh bilkufar melainkan menandingi kufar. Tasyabuh bilkufar memang
dilarang, namun menandingi mereka adalah suatu keharusan.
Oleh karena
itu, para Kyai menyuruh kita Pujian Sebelum Sholat Fardlu dengan
melantunkan syair sholawat untuk menunggu kedatangan imam dan jama’ah
yang lain, sebab hukumnya adalah sunah. Wallohu a’lam.
Comments
Post a Comment