Skip to main content

Adakah Bid'ah Hasanah? Part II

apa itu bidah, Adakah Bid'ah Hasanah,
Adakah Bid'ah Hasanah (Part II)

Kesalahan mendasar bagi orang-orang yang menolak adanya bid’ah hasanah yang tersebar dalam golongan wahhabi adalah pada kenyataannya mereka sendiri tidak mengerti konsep pembagian bid’ah menjadi bidah hasanah dan bidah sayyi’ah. 

Mereka tidaklah mengerti bahwa pembagian bid’ah menjadi bidah hasanah dan bidah sayyi’ah dilakukan terhadap bid’ah dilihat dari segi bahasa.

Ketidak mengertian itu mengarak mereka ke alam hayalan untuk menciptakan tebakan mengenai konsep pembagian bid’ah menjadi bidah hasanah dan bidah sayyi’ah. Secara diam-diam mereka berfikir bahwa pembagian itu dilakukan terhadap bidah dilihat dari segi syar’i.

Dengan berdasarkan pada ketidak mengertian dan hayalan ini kemudian mereka menyalahkan dan mencela orang-orang yang membagi bid’ah menjadi bidah hasanah dan bidah sayyi’ah hingga menyebabkan perdebatan yang tidak kunjung usai sejak berabad-abad lalu.

Apa Itu Bidah?

Para ulama mendefinisikan bidah dari dua segi; segi lughowi dan segi syar’i. Bid’ah secara lughowi (bahasa) adalah sesuatu yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Sedangkan secara syariat bidah adalah sesuatu yang bertentangan dengan Al-Quran, Hadits dan Ijma’.

Dengen melihat definisi yang diberikan oleh para ulama maka dapat disimpulkan bahwa bid’ah dapat dipahami dari dua segi; segi lughowi dan segi syar’i. Dan dari dua segi inilah ulama memahami bid’ah.

Seluruh ulama sepakat bahwa bid’ah dilihat dari segi syar’i secara keseluruhan adalah sesat. Dalam hal ini Rosululloh SAW bersabda sebagai berikut:

فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah kitabulloh dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad sedangkan seburuk-buruk urusan adalah hal baru dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Refrensi: Shohih Muslim 3/11 (2041), Sunan Kabir 3/206 (5963), Jami’ul Ushul Fi Ahaditsir Rosul 5/679 (3974), Kanzul Umal 1/173 (874), Faidhul Qodir Lil Manawi 1/307 dan lain-lain.

Ibn Umar RA berkata:
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة

Artinya: “Setiap bid’ah adalah sesat sekalipun manusia melihatnya bagus.”

Abdulloh Bin Mas’ud berkata:
اتبعوا ولا تبتدعوا فقد كفيتم وكل بدعة ضلاله

Artinya: “Ikutilah dan jangan membuat bid’ah maka kalian akan tercukupi. Dan setiap bid’ah adalah sesat.”

Hadits dan ucapan sahabat di atas adalah membahas bid’ah dilihat dari dari segi syari. Memang bid’ah jika dilihat dari sergi pengertian syar’i secara keseluruhan semuanya adalah sesat.

Ibn Hajar dalam Fathul Bari 13/254, berkata:

والمراد بقوله : « كل بدعة ضلالة » ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام

“Yang dikehendaki dengan sabda “Kullu bid’ah dholalah” adalah sesuatu yang baru yang tidak memiliki dalil dari syariat baik dalil husus maupun dalil umum.” (Lihat juga Al-Manawi dalam Faidul Qodir 2/217).

Al-qodhi Abu Fadhl Iyad Bin Musa Al-Maliki dalam Masyariqul Anwar Fi Shihahil Atsar 1/81 berkata:
والبدعة فعل ما لم يسبق إليه فما وافق أصلا من السنة يقاس عليها فهو محمود وما خالف أصول السنن فهو ضلالة

Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Maka sesuatu yang sesuai dengan sunah (dengan cara) diqiyaskan maka ia terpuji sedangkan sesuatu yang bertentangan dengan sunah, maka ia sesat.”

Ibn Rojab dalam Jami’ul Ulum 2/128 berkata:

فكل من أحدث شيئًا ونسبه إلى الدين ، ولم يكن له أصل من الدين يرجع إليه ؛ فهو ضلالة ، والدين منه بريء

Setiap orang yang membuat amalan baru kemudian menisbatkannya kepada agama padahal amalan tersebut tidak memiliki asal dari agama sebagai refrensi, maka amalan tersebut adalah sesat dan agama berlepas diri darinya.


Berbeda dengan bid’ah dilihat dari segi lughowi. Bid’ah dilihat dari segi lughowi boleh dibagi berdasarkan kesepakatan ulama. Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah tidaklah membagi bid’ah kecuali dilihat dari segi lughowi.

Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki dalam kitab Mafahim berkata:

فإن تقسيم البدعة إلى حسنة وسيئة في مفهومنا ليس إلا للبدعة اللغوية التي هي مجرد الاختراع والإحداث، ولا نشك جميعاً في أن البدعة بالمعنى الشرعي ليست إلا ضلالة وفتنة مذمومة مردودة مبغوضة

Artinya: “Sesungguhnya pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dalam kepahaman kami adalah pembagian bid’ah secara lughowi (bahasa) yakni sesuatu yang dibuat dan baru. Kami secara keseluruhan tidak ragu bahwa dilihat dari segi syari tidak ada bid’ah kecuali sesat, fitnah, tercela, tertolak dan dibenci.” (Mafahim, 114)


Bid’ah hasanah adalah sesuatu yang tidak ada contoh terdahulu namun sesuai dengan keumuman suatu dalil. Sedangkan bid’ah sayyiah adalah amalan yang tidak ada contoh terdahulu dan bertentangan dengan al-quran, hadits dan ijma’.

Ibn Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa (10/371), berkata:

وَمَا سُمِّيَ " بِدْعَةً " وَثَبَتَ حُسْنُهُ بِأَدِلَّةِ الشَّرْعِ فَأَحَدُ  الْأَمْرَيْنِ فِيهِ لَازِمٌ : إمَّا أَنْ يُقَالَ : لَيْسَ بِبِدْعَةِ فِي الدِّينِ وَإِنْ كَانَ يُسَمَّى بِدْعَةً مِنْ حَيْثُ اللُّغَةُ . وَإِمَّا أَنْ يُقَالَ : هَذَا عَامٌّ خُصَّتْ مِنْهُ هَذِهِ الصُّورَةُ لِمُعَارِضِ رَاجِحٍ كَمَا يَبْقَى فِيمَا عَدَاهَا عَلَى مُقْتَضَى الْعُمُومِ كَسَائِرِ عمومات الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ

“Sesuatu yang disebut dengan “BID’AH” dan kebagusannya ditetapkan oleh dalil syari’at maka dalam hal ini ada dua hal yang harus dilakukan. (Pertama), hendaknya dikatakan bahwa sesuatu itu bukan bid’ah dalam agama sekalipun disebut bid’ah secara bahasa. (Kedua), ini adalah masalah umum yang dihususkan dengan gambaran ini sebab disandingkan dengan dalil yang rojih sebagaimana dalam masalah lain yang menunjukan keumuman seperti halnya keumuman  (dalil) kitab dan sunah.” (lihat juga Muro’atul Miftah 2/228, Aunul Ma’bud 12/235)

Badruddin Al-‘Aini dalam Umdatul Qori 21/292 berkata:

والبدعة في الأصل أحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله ثم البدعة على نوعين إن كانت مما يندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة

“Bid’ah pada asalnya adalah membuat perkara baru yang tidak ada dijaman Nabi SAW. Bid’ah ada dua macam, (Pertama), apabila masuk dalam hal yang dinilai baik oleh syari’at maka disebut bid’ah hasanah. (Kedua), apabila masuk dalam hal yang dinilai buruk oleh syari’at maka disebut bid’ah yang buruk.”

Sholih Bin Abdul Aziz Alu Syekh, mengatakan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua macam, bid’ah asliyah dan bid’ah idhofiyah. Dalam kitab As-Sunah Walbidah, hal. 7, ia berkata:

إذن حصلنا من ذلك على أن البدع نوعان: بدع أصلية: وهي التي تكون محدثة من حيث الأصل ومن حيث الوصف. وبدع إضافية: يكون أصلها مشروعا؛ ولكن هيأتها محدثة من مثل الصلاة على النبي عَلَيْهِ الصَّلاَةُ والسَّلاَمُ على المآذن بعد الفراغ من الأذان، ومن مثل الاجتماع على الذكر على نحو معين بصفة معينة ملتزمة. فهذا من حيث هو مشروع في الأصل؛ لأن الصلاة على النبي عَلَيْهِ الصَّلاَةُ والسَّلاَمُ مأمور بها في الكتاب والسنة؛ لكن هذه الهيئة جعلت تلك الهيئة مخترعة، فسُمّيت بدعة إضافية ليست أصلية لأن أصلها مشروع؛ لكنها إضافية يعني أن البدعة جاءت من حيث الهيئة، لا من حيث الأصل، فهذا النوع من التعبد بها بدعة؛ لكن أصلها مشروع.

Artinya: Dengan begitu maka kita simpulkan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua macam. (Pertama), Bid’ah Asliyah, yaitu hal baru dilihat dari segi asal dan sifat. (Kedua) Bid’ah Idhofiyah yaitu asalnya disyariatkan, tetapi cara/bentuknya adalah hal baru.

Seperti membaca sholawat atas Nabi setelah selesai azan. Contoh lainnya adalah berkumpul untuk berzikir dengan sifat tertentu. Contoh-contoh ini pada asalnya disyariatkan. Sebab membaca sholawat atas nabi merupakan perintah al-quran dan hadits. Tetapi cara pelaksanaanya adalah merupakan hasil ciptaan.

Maka Bid’ah ini disebut sebagai bid’ah idhofiyah, bukan bid’ah asliyah sebab pada asalnya ia disyariatkan. Tetapi bid’ah tersebut hanya merupakan idhofiyah, yakni bid’ah dilihat dari segi cara pelaksanaannya bukan dilihat dari segi asalnya. Ini adalah merupakan ibadah yang bid’ah tetapi pada asalnya ia disyariatkan.

Kesimpulan Artikel Adakah Bid’ah Hasanah

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seluruh ulama sepakat bahwa bid’ah dilihat dari segi syari semuanya secara keseluruhan adalah sesat. Mereka juga sepakat bahwa bid’ah dilihat dari segi lughowi dapat dibagi. Badruddin Al-Aini membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Sedangkan Sholih Bin Abdul Aziz Alu Syekh membagi bid’ah menjadi bid’ah asliyah dan bid’ah idhofiyah.

Jadi, Adakah Bid’ah Hasanah? Jawabannya adalah “Ada” yaitu bid’ah dilihat dari segi lughowi. 

Comments

Popular posts from this blog

Nabi Muhammad Mempersaudarakan Muhajir dan Anshor

Persaudaraan  Muhajir dan Anshor Madinah yang saat itu bernama Yatsrib merupakan fase  baru  dalam hidup Nabi Muhammad . Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan  kepala  sebagai  tanda  hormat  dan  rasa  kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib - tanah airnya yang baru - ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang  sebelum  itu  di  seluruh  wilayah  Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada. Sekarang Nabi Muhammad bermusyawarah dengan kedua wazirnya  Abu  Bakr dan  Umar  -  demikianlah  mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang  mula-mula  ialah  menyusun barisan  kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala  bayangan  yang  akan  membangkitkan  api permusuhan  lama di kalangan mereka itu. Strategi Nab

Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, Bagaimana hukumnya?

Persoalan Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, saat ini banyak dibicarakan di medsos. Mereka mencoba menjawab pertanyaan Bagaimana hukumnya? Ilustrasi Jawaban Tidak ada yang mensyaratkan sholat jum'at harus di dalam masjid selain madzhab Maliki. Madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas warga Indonesia, tidak melarang sholat jum'at di luar masjid. Itu artinya, sholat jum'at di jalan raya tetap sah. Berikut ta'bir dalam kitab-kitab madzhab syafii: قال في حاشية الشرواني على تحفة المنهج قول المتن في خطة أبنية...... الخ اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في مغني المحتاج على المنهاج ص ٤١٧ جز اول في قول المتن( أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمّعين) اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في شرح المحلي على المنهاج ص ٢٧٢ جز اول   في قول المتن ( أن تقام في خطّة أبنية أوطان المجمّعين) لأنها لم تقم في عصر النّبيّ صلى اللّه عليه وسلّم والخلفاء الراشدين إلاّ في مواضع الإقامة كما هو معلوم وهي ما ذكر سواء فيه المسجد والدّار والفضاء ..اھ قال

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu , - Dalam al-quran, diahir surat anisa’ ayat 47 terdapat kalimat (yang artinya) “atau kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari sabtu...” Di sana terdapat kalimat hari sabtu dan tentunya ini melahirkan pertanyaan tentang hari sabtu dan itulah yang ditanyakan oleh member grup Fiqih Madzhab Syafi’i yang saya dirikan di facebook. Berikut pertanyaan tentang Tafsir Surat An-Nisa Ayat 47 Tentang Hari Sabtu. Alam Poetra Losariez السلا م عليكم .... Mohon penjelasan para alim,ustadz,ustadzah . Dalam surat an_nisa ayat 47 (d terakhir surat )yangg ber bunyi : ٠٠٠٠اونلعنهم كما لعنا اصحب السبت وكان امرالله مفعولا(٤٧) “... ataw kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang(yang berbuat maksiat) pada hari sabat(sabtu).dan ketetapan bagi allah pasti berlaku(Q,S an_nisa ayat 47) Pertanyaannya ... : ada apa dengan hari sabtu ? apakah hari sabtu hari yang d istimewakan a