Skip to main content

Bantahan Untuk Ust. Abul Jauza


Saya sengaja menulis artikel Bantahan Untuk Ust. Abul Jauza karena dalam artikelnya yang berjudul Ahmad Bin Hanbal dan Tawasul dengan Perantara (Diri) Nabi, ia mengajak para pembaca untuk bersikap kritis terhadap ucapan Imam Ahmad yang membolehkan tawasul dengan zat nabi yang di nukil oleh Ibn taimiyah dalam kita Ar-Rodd Alal Akhnai.

Bantahan Untuk Ust. Abul Jauza
Menurutnya kalimat bertawasul dengan perantaraan Nabi masih bersifat mujmal sebab imam Ahmad tidak menyebutkan kalimat tawasulnya. Karenanya ucapan beliau masih memerlukan mubayyin atau penjelas dari ucapan beliau yang lain. Ust. Abul Jauza menjadikan ucapan imam ahmad yang dinukil oleh Muhammad bin abdul wahhab dan juga ucapan Mardawi sebagai mubayyin atau penjelas.

Di ahir artikelnya Ust. Abul Jauza membuat kesimpulan yang intinya ia menolak jika ucapan Imam Ahmad yang dinukil oleh Ibn Taimiyah di arahkan pada tawasul dengan diri Nabi akan tetapi bertawassul dengan amalan-amalan yang terkait dengan pemenuhan hak beliau dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau.

Maksud Ucapan Imam Ahmad

Al-Mardawiy berkata :

يجوز التوسل بالرجل الصالح على الصحيح من المذهب، وقيل يُستحب. قال الإمام أحمد للمروذي: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه.
Artinya: “Dan diperbolehkan bertawassul dengan (perantaraan) laki-laki yang shaalih berdasarkan pendapat madzhab yang shahih. Dan dikatakan : Disunnahkan. Al-Imaam Ahmad pernah berkata kepada Al-Marwadziy : ‘Hendaknya seseorang bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya” [Al-Inshaaf, 2/456, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Cet. 1/1374 H].

Dalam artikelnya, Ust. Abul Jauza menulis: “Akan tetapi, kita perlu sedikit kritis dalam mencermati perkataan Al-Imaam Ahmadrahimahullah, terutama pada kalimat يتوسل بالنبي (bertawasul dengan perantaraan Nabi).”

Bantahan Untuk Ust. Abul Jauza

Saya tidak tahu bagaimana bisa Ust. Abul Jauza mengajak pembacanya untuk sedikit kritis tehadap ucapan Imam Ahmad, padahal isi artikelnya sama sekali tidak menunjukan adanya kajian kritis.

Isi artikel Ust. Abul Jauza hanya sekedar bongkar pasang peletakan ucapan para ulama. Ucapan para ulama yang membolehkan tawasul dengan zat nabi diletakan pada di awal artikel dari paragraf ke 1 sampai paragraf ke-6. Kemudian ucapan ulama yang berpendapat bahwa tawasul hanya dengan iman, amal sholih, doa dan lain-lain diletakan pada paragraf ke- 8.

Tujuan dari praktek bongkar pasang itu adalah untuk menipu para pembaca agar mengira bahwa ucapan yang berada pada paragraf terahir adalah kebenaran yang membantah ucapan yang berada pada paragraf sebelumnya.

Bagaimanapun usaha Ust. Abul Jauza untuk mengelabui umat islam, namun tetap saja dia tidak bisa mengelabui kebenaran bahwa masalah tawasul dengan zat Nabi adalah termasuk masalah khilafiyah dikalangan ulama sebagaimana yang akan saya jelaskan dalam artikel Bantahan Untuk Ust. Abul Jauza ini.

Seandainya tawasul yang dikehendaki oleh Imam Ahmad seperti pendapat Ust. Abul Jauza, niscaya Imam Ahmad akan berkata seperti ucapan Al-Mardawi sebagai berikut:

والتوسل بالإيمان به وطاعته ومحبته والصلاة والسلام عليه ، وبدعائه وشفاعته ، ونحوه مما هو من فعله أو أفعال العباد المأمور بها في حقه

Artinya: Tawassul dengan keimanan kepada Nabi, ketaatan kepadanya, dan kecintaan kepadanya - wash-shalaatu was-salaamu ‘alaihi -. Dan juga bertawassul dengan doanya, syafa’atnya, dan yang semisalnya dari macam perbuatan yang dilakukannya atau perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkan (Allah) untuk dilakukan dalam hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Memang benar, Imam Ahmad tidak menyebutkan bentuk kalimat tawasul, namun hal tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memelintir ucapan beliau yang membolehkan tawasul dengan zat Nabi. Sebab, kata tawasul telah dikenal oleh umat islam sehingga mereka tidak perlu lagi diajari bentuk kalimat bertawasul.

Namun jika Ust. Abul Jauza ingin mengetahui bagaimana bentuk tawasul dengan zat atau pangkat Nabi, maka mari kita simak ucapan Ibn Qudamah yang mengajari kalimat tawasul dengan zat nabi.

Ibnu Qudaamah sebagai salah satu ulama madzhab hanbali dalam kitab Washiyyatu Al-Imaam Ibni Qudaamah Al-Maqdisiy hal. 92, menjelaskan kalimat tawasul dengan zat atau pangkat nabi sebagai berikut: 

اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي فيقضي لي حاجتي،وتذكر حاجتك

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku dengan perantaraan dirimu, agar Allah memenuhi hajatku’ – dan engkau sebut hajatmu itu...”

Ibn Aqil Al-Hanbali dalam kitab Tadzkiroh hlm. 87 juga mengajari kita kalimat bertawasul dengan zat atau oangkat Nabi seperti berikut:

اللهم أني أتوجه إليك بنبيك صلى الله عليه وسلم بنبي الرحمة يا رسول الله إني أتوجه بك إلى ربي ليغفر لي ذنوبي، اللهم إني أسألك بحقه أن تغفر لي ذنوبي

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku menghadap-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Nabi rahmat. Wahai Rosulalloh, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku dengan perantaraan dirimu, agar Allah mengampuni dosa ku...”

Terkait hal ini Ibn Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 1/140 menegaskan bahwa Imam Ahmad adalah salah satu ulama yang membolehkan tawasul dengan zat Nabi. Untuk lebih jelasnya silahkan baca diartikel saya berjudul Imam Ahmad Membolehkan Tawasul Dengan Zat Nabi.

Nukilan Muhammad Bin Abdul Wahhab

Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab menukil perkataan lain dari Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah :

قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه، وقال أحمد وغيره في قوله عليه السلام: " أعوذ بكلمات الله التامات من شر ما خلق ": الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Ust. Abul Jauza menerjemahkan teks di atas seperti ini: “Ahmad berkata : ‘Sesungguhnya ia bertawassul dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam doanya’. Ahmad dan yang lainnya berkata tentang sabda beliau‘alaihis-salaam : A’uudzu bikalimaatillaahi at-taammaati min syarri maa khalaq : ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk”

Kemudian Ust. Abul Jauza membuat kesimpulan berikut: “Dhahir perkataan ini mengindikasikan bahwa berdoa kepada Allah tidak boleh dilakukan bertawassul dengan perantaraan makhluk, dan isti’aadzahsendiri merupakan doa.”

Bantahan Untuk Ust. Abul Jauza

Dalam menerjemahkan teks di atas ternyata Ust. Abul Jauza melakukan tadlis (Pengkaburan) yang tujuannya untuk menipu para pembaca agar mereka mengira Imam Ahmad melarang tawasul dengan zat atau pangkat Nabi.

Perhatikan kalimat:

الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Ust. Abul Jauza menerjemahkan kalimat tersebut begini: ‘Isti’adzaah (doa meminta perlindungan) tidak boleh dilakukan dengan (perantaraan) makhluk”.

Ia memberi kata “perantaraan” yang diletakan dalam kurung. Orang yang tidak mengerti bahasa arab tentunya akan tertipu dengan terjemahan tersebut. Mereka akan menganggap bahwa Imam Ahmad melarang tawasul.

Padahal dalam teks arabnya sama sekali tidak ada kalimat yang menunjukan artian perantaraan. Maka terjemahan yang benar dari ucapan imam Ahmad adalah “Meminta perlindungan tidak boleh dengan mahluk.” Untuk lebih jelasnya silahkan baca artikel saya berjudul Tadlis Ust. Abul Jauza Dalam Menterjemahkan Ucapan Imam Ahmad

Ucapan Imam Ahmad di atas sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk menolak diperbolehkannya tawasul dengan zat atau pangkat nabi. Justru ucapan itu malah mempertegas bahwa beliau memperbolehkan tawasul dengan zat nabi. Ini ditunjukan oleh teks:

قال أحمد إنه يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم في دعائه

Sedangkan yang dilarang oleh Imam Ahmad dari ucapan di atas adalah meminta tolong dengan mahluk. Hal ini ditunjukan oleh kalimat:
الاستعاذة لا تكون بمخلوق

Jadi dhohir dari ucapan Imam Ahmad adalah beliau tidak melarang tawasul dengan zat Nabi sebaliknya beliau malah bertawasul dengan zat Nabi. Dan yang beliau larang adalah meminta perlindungan dengan mahluk.

Ucapan Al-Mardawiy

Al-Mardawiy menukil perkataan dari madzhab Hanaabilah :

وجعله الشيخ تقي الدين كمسألة اليمين به قال : والتوسل بالإيمان به وطاعته ومحبته والصلاة والسلام عليه ، وبدعائه وشفاعته ، ونحوه مما هو من فعله أو أفعال العباد المأمور بها في حقه : مشروع إجماعا ، وهو من الوسيلة المأمور بها في قوله تعالى اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة

“Asy-Syaikh Taqiyyuddiin menjadikan permasalahan itu seperti permasalahan bersumpah dengannya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Ia berkata : ‘Dan tawassul dengan keimanan kepadanya, ketaatan kepadanya, dan kecintaan kepadanya - wash-shalaatu was-salaamu ‘alaihi -. Dan juga bertawassul dengan doanya, syafa’atnya, dan yang semisalnya dari macam perbuatan yang dilakukannya (orang yang bertawassul) atau perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkan (Allah) untuk dilakukan dalam hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal itu disyari’atkan berdasarkan ijmaa’. [Al-Inshaaf, 2/456].

Menurut Ust. Abul Jauza’ perkataan di atas merupakan hal yang lebih terang untuk menjelaskan maksud perkataan Al-Imaam Ahmad di awal tentang bolehnya bertawassul dengan perantaraan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Tawassul dimaksud bukanlah tawassul dengan perantaraan diri (dzat atau kemuliaan) Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, akan tetapi bertawassul dengan amalan-amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliaushallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau.

Bantahan Untuk Ust. Abul Jauza

Ucapan Mardawi sama sekali tidak menjelaskan maksud perkataan Al-Imaam Ahmad yang membolehkan tawasul dengan Nabi. Melainkan menjelaskan hal yang menjadi ijma’ ulama yakni tawasul dengan amalan-amalan kita yang terkait dengan pemenuhan hak beliaushallallaahu 'alaihi wa sallam dalam hal keimanan, kecintaan, ketaatan, dan yang semisalnya kepada beliau. 

Sedangkan terkait tawasul dengan zat atau pangkat seseorang adalah masalah khilafiyah dan Imam Ahmad adalah salah satu ulama yang membolehkannya.

Kesimpulan dari artikel Bantahan Untuk Ust. Abul Jauza sebagai berikut:

Tawasul adalah amalan yang disyariatkan. Seluruh ulama sepakat bahwa tawasul dengan iman dan amal sholih boleh dilakukan. Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah tawasul dengan zat atau pangkat seseorang seperti Nabi dan orang sholih. Imam Ahmad adalah salah satu ulama yang membolehkan tawasul dengan zat atau pangkat Nabi. Untuk lebih jelasnya silahkan baca artikel saya berjudul Tawasul

Comments

Popular posts from this blog

Nabi Muhammad Mempersaudarakan Muhajir dan Anshor

Persaudaraan  Muhajir dan Anshor Madinah yang saat itu bernama Yatsrib merupakan fase  baru  dalam hidup Nabi Muhammad . Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu menundukkan  kepala  sebagai  tanda  hormat  dan  rasa  kagum. Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib - tanah airnya yang baru - ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi, yang  sebelum  itu  di  seluruh  wilayah  Hijaz belum dikenal; sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada. Sekarang Nabi Muhammad bermusyawarah dengan kedua wazirnya  Abu  Bakr dan  Umar  -  demikianlah  mereka dinamakan. Dengan sendirinya yang menjadi pokok pikirannya yang  mula-mula  ialah  menyusun barisan  kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna menghilangkan segala  bayangan  yang  akan  membangkitkan  api permusuhan  lama di kalangan mereka itu. Strategi Nab

Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, Bagaimana hukumnya?

Persoalan Melaksanakan Sholat Jum'at Di Jalan Raya, saat ini banyak dibicarakan di medsos. Mereka mencoba menjawab pertanyaan Bagaimana hukumnya? Ilustrasi Jawaban Tidak ada yang mensyaratkan sholat jum'at harus di dalam masjid selain madzhab Maliki. Madzhab Syafii yang diikuti oleh mayoritas warga Indonesia, tidak melarang sholat jum'at di luar masjid. Itu artinya, sholat jum'at di jalan raya tetap sah. Berikut ta'bir dalam kitab-kitab madzhab syafii: قال في حاشية الشرواني على تحفة المنهج قول المتن في خطة أبنية...... الخ اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في مغني المحتاج على المنهاج ص ٤١٧ جز اول في قول المتن( أن تقام في خطة أبنية أوطان المجمّعين) اي وان لم تكن في مسجد. اھ وقال في شرح المحلي على المنهاج ص ٢٧٢ جز اول   في قول المتن ( أن تقام في خطّة أبنية أوطان المجمّعين) لأنها لم تقم في عصر النّبيّ صلى اللّه عليه وسلّم والخلفاء الراشدين إلاّ في مواضع الإقامة كما هو معلوم وهي ما ذكر سواء فيه المسجد والدّار والفضاء ..اھ قال

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu

Tafsir Surat An-Nisa : 47 Tentang Hari Sabtu , - Dalam al-quran, diahir surat anisa’ ayat 47 terdapat kalimat (yang artinya) “atau kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari sabtu...” Di sana terdapat kalimat hari sabtu dan tentunya ini melahirkan pertanyaan tentang hari sabtu dan itulah yang ditanyakan oleh member grup Fiqih Madzhab Syafi’i yang saya dirikan di facebook. Berikut pertanyaan tentang Tafsir Surat An-Nisa Ayat 47 Tentang Hari Sabtu. Alam Poetra Losariez السلا م عليكم .... Mohon penjelasan para alim,ustadz,ustadzah . Dalam surat an_nisa ayat 47 (d terakhir surat )yangg ber bunyi : ٠٠٠٠اونلعنهم كما لعنا اصحب السبت وكان امرالله مفعولا(٤٧) “... ataw kami laknat mereka sebagaimana kami melaknat orang-orang(yang berbuat maksiat) pada hari sabat(sabtu).dan ketetapan bagi allah pasti berlaku(Q,S an_nisa ayat 47) Pertanyaannya ... : ada apa dengan hari sabtu ? apakah hari sabtu hari yang d istimewakan a