Tawasul dan wasilah memiliki kesamaan makna yaitu sesuatu yang digunakan untuk mendekat pada yang lain. (Muhammad Bin Abu Bakar, Mukhtarush shihah, 1/740). Pengertian senada juga disampaikan oleh Al-Munawi dalam kitab At-Ta’arif. Kata beliau:
Wasilah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai media untuk mendekat pada sesuatu yang lain. Pengertian ini disebutkan oleh Ar-Roghib. Abul Baqo’ berkata wasail adalah bentuk jama’ wasilah; sesuatu yang dijadikan sebagi penyambung untuk mencapai hasil. (At-Ta’arif 1/726)
Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki dengan menggunakan kalimat yang berbeda juga mengartikan wasilah seperti pengertian di atas. Kata beliau:
والوسيلة: كل ما جعله الله سبباً في الزلفى عنده ووصلة إلى قضاء الحوائج
Artinya: “Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan sebagai sebab oleh Alloh untuk mendekat kepada Nya dan penyambung untuk memperoleh kebutuhan.” (Mafahim, hlm. 126)
Seluruh ulama sepakat bahwa tawasul adalah merupakan perbuatan yang disyariatkan. Melalui Al-Quran surat Al-Maidah : 35, Alloh memerintah kita untuk bertawasul.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
Ijma’ Ulama
Para ulama sepakat bahwa media yang dapat dijadikan sebagai sarana tawasul adalah iman dan amal sholih. Sayyid Muhammad dalam Mafahim berkata:
لم يختلف أحد من المسلمين في مشروعية التوسل إلى الله سبحانه وتعالى بالأعمال الصالحة
Artinya: tidak ada seorangpun yang menyelisihi disyariatkannya tawasul kepada Alloh dengan amal sholih.
Terkait dengan hal ini, Al-Mardawiy menukil perkataan lain dari madzhab Hanaabilah :
وجعله الشيخ تقي الدين كمسألة اليمين به قال : والتوسل بالإيمان به وطاعته ومحبته والصلاة والسلام عليه ، وبدعائه وشفاعته ، ونحوه مما هو من فعله أو أفعال العباد المأمور بها في حقه : مشروع إجماعا
Artinya: “Asy-Syaikh Taqiyyuddiin menjadikan permasalahan itu seperti permasalahan bersumpah dengannya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Ia berkata : ‘Dan tawasul dengan keimanan kepadanya, ketaatan kepadanya, dan kecintaan kepadanya - wash-shalaatu was-salaamu ‘alaihi -. Dan juga bertawasul dengan doanya, syafa’atnya, dan yang semisalnya dari macam perbuatan yang dilakukannya (orang yang bertawassul) atau perbuatan-perbuatan hamba yang diperintahkan (Allah) untuk dilakukan dalam hak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka hal itu disyari’atkan berdasarkan ijmaa’. [Al-Inshaaf, 2/456].
Khilafiyah Ulama
Jadi tawasul dengan iman dan amal sholih merupakan sesuatu yang menjadi ijma’ ulama atas disyariatkannya. Lalu bagaimana tawasul dengan zat atau pangkat seseorang seperti Nabi dan orang sholih?
Pertanyaan inilah yang menjadi bahan perdebatan para ulama sehingga mereka berbeda pendapat . Sebagian ulama memperbolehkannya dan sebagian lain melarangnya.
Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki dalam Mafahim berkta:
ومحل الخلاف في مسألة التوسل هو التوسل بغير عمل المتوسل، كالتوسل بالذوات والأشخاص بأن يقول: اللهم إني أتوسل إليك بنبيك محمد - صلى الله عليه وسلم -
Artinya: Tempat perbedaan pendapat dalam masalah tawasul adalah tawasul dengan amal orang lain seperti tawasul dengan zat atau seseorang dengan mengucapkan (kalimat) Ya Alloh aku bertawasul kepada Mu dengan perantara Nabi Muhammad. (Mafahim Yajibu An Tushohah)
Di antara Ulama yang membolehkan tawasul dengan zat atau pangkat nabi adalah Imam Ahmad.
Di antara Ulama yang membolehkan tawasul dengan zat atau pangkat nabi adalah Imam Ahmad.
Ibn taimiyah dalam kitab Ar-Radd ‘alal-Akhnaa’iy, hal. 168 menukil ucapan Imam Ahmad dengan redaksinya sebagai berikut:
وسل الله حاجتك متوسلا اليه بنبيه
Artinya: “Dan mohonlah hajatmu kepada Allah dengan bertawassul melalui perantaraan Nabi-Nya.”
Muhammad Bin Abdul Wahhab dalam Fataawaa wa Masaail, hal. 68; Terbitan Universitas Muhammad bin Su’uud menukil pendapat Imam Ahmad dengan redaksinya sebagai berikut:
لا بأس بالتوسل بالصالحين، وقول أحمد: يتوسل بالنبي صلى الله عليه وسلم خاصة
Artinya: “Tidak mengapa bertawassul dengan (perantaraan) orang-orang shalih. Dan perkataan Ahmad (bin Hanbal) : Bertawassul hanya diperbolehkan dengan (perantaraan) Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja.”
Al-Albaaniy dalam kitab At-Tawassul, hal. 42; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1421 H, menukil pendapat Imam Ahmad dengan redaksi sebagaiberikut:
فأجاز الإمام أحمد التوسل بالرسول صلى الله عليه وسلم
Artinya: “Al-Imaam Ahmad membolehkan bertawassul dengan (perantaraan) Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja.”
Oleh karena itu Al-Mardawiy dalam kitab Al-Inshaaf, 2/456, tahqiq : Muhammad Haamid Al-Faqiy; Cet. 1/1374 H, menyebutkan bahwa bertawasul dengan zat atau pangkat nabi serta orang sholih adalah termasuk pendapat madzhab hanbali. Redaksinya sebagaiberikut:
يجوز التوسل بالرجل الصالح على الصحيح من المذهب، وقيل يُستحب.
Artinya: “Dan diperbolehkan bertawassul dengan (perantaraan) laki-laki yang shaalih berdasarkan pendapat madzhab yang shahih. Dan dikatakan : Disunnahkan.”
Ibnu Qudaamah dalam kitab Washiyyatu Al-Imaam Ibni Qudaamah Al-Maqdisiy hal. 92, tahqiq : Muhammad Unais, menjelaskan kalimat tawasul dengan zat atau pangkat nabi sebagai berikut:
وإن قلت : اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي فيقضي لي حاجتي،وتذكر حاجتك
Artinya: “Dan jika engkau ucapkan : ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku dengan perantaraan dirimu, agar Allah memenuhi hajatku’ – dan engkau sebut hajatmu itu....”
Jadi tawasul dengan zat atau pangkat seseorang seperti Nabi dan orang sholih adalah masalah khilafiyah dikalangan ulama. Untuk menghadapi masalah khilafiyah seperti ini kata Ustaimin tidak boleh disebut sebagai amalan bid’ah. Katanya:
أما ما اختلف فيه علماء السنة فإننا لا نقول بدعة وإلا كان كل مسألة فيها خلاف يكون المخالف فيها مبتدعا ( تعليقات ابن عثيمين علي الكافي لابن قدامة ج 1 ص 377 )
Artinya: Adapun sesuatu yang diperselisihkan oleh ulama sunah maka kami tidak mengatakannya sebagai bid’ah. Jika tidak begitu maka setiap masalah yang didalamnya terdapat perbedaan, berarti orang yang menentang adalah pembuat bid’ah. (Ta’liqot Ibn Utsaimin Alal Kafi Libni Qudamah 1/377)
Wal-hasil, tawasul adalah amalan yang disyariatkan. Seluruh ulama sepakat atas dibolehkannya tawasul menggunakan amaln sholih. Namun mereka berbeda pendapat dalam masalah tawasul dengan zat atau pangkat seseorang seperti Nabi atau wali. Untuk masalah khilafiyah seperti ini kita tidak boleh menyebutnya sebagai amalan bid'ah yang sesat; lebih-lebih menyebutnya sebagai amalan syirik. Tidak boleh itu. Wallohu a'lam.
Comments
Post a Comment