Dialog Tentang
Haul ini terjadi antara saya dan seorang wahhabi berakun Abu Rumaisha melalui
inbox. Dengan membaca dialog ini maka kita akan tahu kefanatikan wahhabi. Disamping
itu, dialog ini juga menunjukan watak permanen wahhabi yang gemar menuduh tanpa
bukti (baca; fitnah).
Screen Shot Dialog Tentang Haul |
Abu Rumaisha: “Afwan, ana numpang nanya, tolong kasihkan dalil dari Qur'an dan
hadits amalan ultah kematian.”
Qosim Ibn Aly: “Tanya saja sama Bin Baz. Dia kan menyetujui perayaan ulang tahun kematian.”
Abu Rumaisha : “Lo
kok disuruh nanya sama ulama yang bukan pelaku ultah kematian, apa ga kebalik,
klo ga ada dalilnya, berarti selama ini aswaja mengakui ritual tersebut budaya
nenek moyang ya (adat).”
Qosim Ibn Aly :
“ooo... jadi ente tidak tahu kalo Bin Baz membolehkan merayakan ultah kematian.
Kasian bener ente."
Abu Rumaisha: “Makin tambah jahil aja ente, katanya ulama wahabi sesat, tapi kalau
mau melegalkan amalan bid'ahnya ngambil dalil dari pendapat ulama wahabi, koplak.
Kemudian klo
benar ulama wahabi membolehkan ultah kematian, seperti syaik Utsaimin, kok kita
tidak pernah denger beliau menganjurkan bahkan mengadakan ultah kematian, 1,3,7
dst ortu beliau.”
Qosim Ibn Aly :
“Saya kagak ngambil pendapat ulama wahhabi. Saya cuma ngasih
tau bahwa ulama wahhabi juga pelaku bidah. Jadi gimana nurut nt, apakah ulama wahhabi sesat karena melakukan
bidah?”
Abu Rumaisha : “Hhmm,
pelaku bid'ah ya, tolong sbutkan dikitab mana syaikh Bin Baz membahas bab
tentang ultah kematian, ente dikibulin kyai, klo beliau pelaku bid'ah harusnya
bliau ngadain ritual ultah kematian dong.”
Qosim Ibn Aly : “Gimana jika saya bisa menyebutkannya. Apakah nt mau tobat dr
kebidahan nt?”
Wahhabi diam tidak tahu harus berkata apa.
Barangkali ia yakin bahwa saya mampu menunjukan refrensi fatwa Bin Baz tentang
perayaan ultah (meminjam istilah wahhabi) kematian.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, maka saya
tunjukan refrensinya. Dan untuk mempermudahnya mengakses refrensi itu, saya
tunjukan linknya sebagaiberikut:
Dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371, Bin Baz
berkata:
حكم حضور مجلس العزاء والجلوس فيه س: هل يجوز
حضور مجلس العزاء والجلوس معهم؟ ج: إذا حضر المسلم وعزى أهل الميت فذلك مستحب؛ لما
فيه من الجبر لهم والتعزية، وإذا شرب عندهم فنجان قهوة أو شاي أو تطيب فلا بأس
كعادة الناس مع زوارهم.
Sumber MMN: Media Muslim News.
Namun apa komentar wahhabi setelah melihat realita
itu?
Abu Rumaisha : “Haaahaa
hoax, ternyata dapet infonya dari sarkub, catet nih ya ultah kematian itu
adanya cuman di indonesia doang.”
Catatan: Ada
dua keanehan di sini. Pertama, ia nuduh saya mengambil info dari web
sarkub. Padahal saya mengambil di muslimmedianews.com. Kedua, tadi
wahhabi meminta refrensi fatwa Bin Baz.
Namun setelah
dikasih tahu dia malah menolaknya dengan alasan karena saya ngambil dari web
muslimmedianews.com. Lha emangnya kenapa kalo saya ngambil info dari
muslimmedianews.com atau sarkub. Apa ada masalah dengan nukilan itu? apa ada penipuan dar nukilan
itu?
Berapa banyak
web milik wahhabi yang memosting artikel hasil copipaste dari web lain? Berapa
banyak facebooker wahhabi yang mengamil informasi dari web-web yang didirikan
dari hasil copipaste? Walaupun sangat banyak jumlahnya, namun ia tidak mempersoalkan
hal itu. Tetapi ketika saya melakukan hal serupa, ia mempersoalkannya.
(weleh-weleh, koyo ngunu kok ngaku nyebar sunah :D)
Saya masih
husnudzon sama wahhabi. Barangkali ia memang benar-benar mencari kebenaran. Ia
benar-benar ingin mengetahui refrensi dari kitabnya secara langsung. Barangkali
setelah melihat screen shot teks dari kitabnya secara langsung, si wahhabi itu
bersedia taubat dari kekeliruannya.
Oleh karena itu
saya buka maktabah syamilah dan meluncur ke kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah, juz 13 hal. 371. Berikut screen shotnya:
Bin Baz Membolehkan Makan Di Rumah Duka |
Tapi ternyata
husnudzon saya tidak tepat. Sebab si wahhabi itu masih menolak screen shot
teksnya dan malah menuduh saya bohong.
Abu Rumaisha : "Ente
jangan kaya ust, Idrus Ramli pke main scan kitab ulama salaf, padahal cuman
kedustaan, dan kedustaan idrus Ramli itu sdh di bantah Ustadz Firanda, okelah
klo tahlilan dilegalkan ulama salaf, monggo tunjukkan mereka ada ngadain ritual
kayak aswaja lakukan dari nurun tanah hingga haul."
Qosim Ibn Aly : “Kalau sekedar menuduh orang berdusta, siapa saja bisa pak. Namun menurut
islam setiap penuduh harus menunjukan bukti.
Kalo ente benar-benar beragama
islam, maka silahkan buktikan tuduhan nt itu. Dari scan itu mana yg dusta? Mana
tanggapan firanda yg mengatakan scan saya itu dusta? Jika nt kagak mampu menunjukan,
berrti nt tukang fitnah.”
Abu Rumaisha : “Monggo
liat firanda.com disitu fitnahnya idrus ramli udah dibantah.”
Catatan: di
atas, si wahhabi ini menolak refrensi dari sarkub.com. Dia meminta saya untuk
menunjukan refrensi langsung dari kitabnya. Tapi sekarang justru dia yang nukil
dari web firanda.com. (weleh-weleh, koyo ngunu kok ngaku nyebar sunah :D)
Qosim Ibn Aly :
“Haaahaa hoax, ternyata dapet infonya dari
Firanda. Jadi Dari scan
itu mana yg dusta? Mana tanggapan firanda yg mengatakan scan saya itu dusta? Ternyata, disamping tukang
fitnah, ente juga hobi mengada-ada.”
Abu Rumaisha : “Ente
dikibulin idrus ramli si idrus tuh mirip syi'ah tukang taqiyah. Bro klo ada bid'ah hasanah, trus bid'ah dholalahnya seerti apa dong.
Catatan:
Bagaimana bisa Ust. Idrus Romli membohongi saya. Lha wong saya punya koleksi
kitab yang saya gunakan untuk memastikan kebenaran suatu nukilan kok. (weleh-weleh,
koyo ngunu kok ngaku nyebar sunah :D)
Qosim Ibn Aly : “Kok mengalihkan pembicaraan to pak :D. Ternyata, disamping tukang fitnah, ente juga hobi
mengada-ada dan ngalihin pembahasan ye. Jadi dari scan itu
mana yang dusta? Mana tanggapan firanda yang mengatakan
scan saya itu dusta?
Tidak ada
jawaban dari wahhabi. Bahkan saya tidak menemukan artikel DR. Firanda yang
membantah screen shot di atas. (Weleh-weleh, koyo ngunu kok ngaku nyebar sunah
:D)
Kesimpulan: Silahkan anda simpulkan sendiri hasil dialog di atas.
{Tanbih}
Al-Syaukani adalah salah satu ulama kebanggan wahhabi. Berikut
fatwanya tekait masalah ini.
السؤال الخامس: حاصله الاستفهام عن الأعراف
الجارية في بعض البلدان من الاجتماع في المساجد لتلاوة القرآن على الأموات، وكذلك
في البيوت، وسائر الاجتماعات التي لم ترد في الشريعة، هل يجوز ذلك أم لا؟
Artinya: “Soal Kelima: Kesimpulan soal, pertanyaan tentang tradisi-tradisi
yang berlangsung di sebagian negeri berupa perkumpulan di Masjid-masjid untuk
membaca al-Qur’an bagi orang-orang yang sudah meninggal. Demikian pula
perkumpulan di rumah-rumah, dan perkumpulan-perkumpulan lain yang tidak datang
dalam syari’at. Apakah hal tersebut boleh atau tidak?
أقول: لا شك أن هذه الاجتماعات المبتدعة إن كانت
خالية عن معصية سليمة من المنكرات فهي جائزة، لأن الاجتماع ليس بمحرم في نفسه ، لا
سيما إذا كان لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها. ولا يقدح في ذلك كون تلك التلاوة
مجعولة للميت، فقد ورد جنس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما في حديث: ” اقرأوا
على موتاكم يس ” وهو حديث حسن ، فلا فرق بين تلاوة يس من الجماعة الحاضرين عند
الميت أو على قبره، وبين تلاوة جميع القرآن أو بعضه لميت في مسجده أو بيته.
Aku berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa
perkumpulan-perkumpulan yang diada-adakan ini, apabila bersih dari kemaksiatan,
selamat dari kemungkaran, maka hukumnya boleh. Karena perkumpulan itu tidak
diharamkan sebab perkumpulannya itu. Lebih-lebih apabila perkumpulan tersebut
untuk melaksanakan ibadah seperti membaca al-Qur’an dan sesamanya (dzikir dan
Tahlilan).
Perkumpulan tersebut juga tidak dapat dicela
karena bacaan al-Qur’an nya dihadiahkan bagi orang yang sudah meninggal. Karena
jenis bacaan al-Qur’an dari jamaah yang berkumpul benar-benar telah datang
seperti dalam hadits, “Bacakanlah surah Yasin bagi orang-orang meninggal
kalian.” Hadits ini adalah hadits hasan.
Jadi tidak ada
bedanya antara membaca surat Yasin, dari jamaah yang hadir di sisi si mati,
atau di atas makamnya, dan antara membaca seluruh al-Qur’an atau sebagian bagi
si mati, di Masjid nya atau di rumahnya.
وبالجملة فالاجتماعات العرفية التي لم يرد جنسها
في الشريعة إن كانت لا تخلو عن منكر فلا يجوز حضورها، ولا يحل تطييب نفس الجار
بحضور مواقف المنكرات والمعاصي وإن كانت خالية عن ذلك، وليس فيها إلا مجرد التحدث
بما هو مباح، فهذا لا نسلم أنه لم يرد جنسه في الشريعة المطهرة، فقد كان الصحابة
الراشدون يجتمعون في بيوتهم ومساجدهم، وعند نبيهم – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ – ويتناشدون الأشعار، ويتذاكرون الأخبار، ويأكلون ويشربون، فمن زعم أن
الاجتماع الخالي عن الحرام بدعة فقد أخطأ، فإن البدعة هي التي تبتدع في الدين،
وليس هذا من ذاك
Artinya: “Kesimpulannya, perkumpulan-perkumpulan tradisional yang jenisnya
tidak datang di dalam syariat, apabila tidak bersih dari kemungkaran, maka
tidak boleh menghadirinya. Tidak boleh menyenangkan hati tetangga dengan
menghadiri tempat-tempat kemungkaran dan kemaksiatan.
Apabila
perkumpulan tersebut bersih dari hal itu, dan isinya hanya sekedar membicarakan
hal-hal yang dibolehkan, maka hal ini kami tidak menerima jika dikatakan bahwa
jenis perkumpulan tersebut tidak terdapat di dalam syariat yang suci. Karena para sahabat yang memperoleh petunjuk selalu mengadakan
perkumpulan di rumah-rumah dan masjid-masjid mereka, dan di sisi Nabi mereka
shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka saling menembangkan syair (persis
maulidan), saling mengingatkan berita-berita, mereka makan dan minum di situ.
Siapa yang berasumsi bahwa perkumpulan yang
bersih dari haram itu bid’ah, maka ia telah benar-benar keliru. Karena bid’ah
itu sesuatu yang diada-adakan dalam agama. Sedangkan perkumpulan (Yasinan,
Hataman, Tahlilan dan semacamnya) ini bukan termasuk bid’ah tersebut.” (Al-Fath
al-Rabbani min Fatawa al-Imam al-Syaukani, juz 9 halaman 4502).
Comments
Post a Comment